Jakarta, KomIT – Perlindungan konsumen sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang melakukan belaja online atau e-commerce. Apalagi, belanja online memang menyenangkan, mudah, dan bahkan produk yang ditawarkan harganya lebih murah dari harga pasaran Namun jika konsumen merasa dirugikan maka industri e-commerce akan kehilangan kepercayaan.
Dalam wawancara Rudi Rusdiah, Chief Editor Komite.id dengan Ardiansyah Parman, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN), terkait Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (disebut PP E-Dagang) yang masih tertahan di Kementrian Perdagangan (Kemendag). Ardian menegaskan hal tersebut terjadi mungkin karena banyak isu yang masih belum tuntas. Sekedar diketahui, Rudi dan Ardiansyah sudah menekuni bidang regulasi industri TIK sejak pembahasan perjanjian ITA (Information Technology Aggrement) sebelum pergantian millenium, dua dekade yang lalu.
Lebih lanjut Ardiansyah menjelaskan pasal-pasal pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.87/2015, terutama peraturan yang mengatur ketentuan impor untuk tujuh produk tertentu,yang notabene sangat liberal dan loop hole (celah) pintu masuk pasar nasional bagi e-commerce asing. Tujuh sektor yang dimaksud adalah kosmetika, obat tradisonal, makanan dan minuman, elektronik, pakaian jadi, alas kaki, dan mainan anak. Sedangkan mengenai kebocoran yang dimaksud dalam regulasi Permendag No.87/2015 adalah memberi peluang kepada e-commerce global untuk masuk ke pasar nasional terlepas ada atau tidaknya PP E-dagang tersebut. Isu RPP E-dagang diserahkan pada Srie Agustina, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen PDN), Kemendag yang baru sempat diwawancarai awal Januari 2016.
Dipaparkan, Permendag dalam aturannya antara lain pengecualian kewajiban inspeksi dipelabuhan asal dan label serta pembatasan impor lain untuk produk yang dikirim dari luar negeri dengan status barang kiriman (via kurir atau logistik) atau barang bawaan dengan nilai dibawah $1,000 FOB. “Detailnya, paling banyak 10 potong pakaian jadi senilai maksium 1000 USD. Kalau produk elektronika maksimal 2 pcs maksimal 1500 USD per pengiriman. Kalau sepatu (Nike, Adidas dan sebagainya) selain pakaian jadi dan elektronika dikecualikan juga dari aturan impor Permendag No.87/2015. Asalkan nilainya tidak lebih dari 1500 USD per pengiriman,” papar Ardiansyah yang juga Mantan Sekjen Kementerian Perdagangan.
Dengan loop hole tersebut, konsumen yang melakukan belanja online diluar negeri seperti gadget, pakaian dan sepatu dari situs global bisa dengan mudah masuk ke pasar domestic. Hal tersebut yang dikhawatirkan Ardiansyah. Apalagi, masalah perlindungan konsumen menjadi lebih rumit karena pemasok barang atau perusahaan e-commerce berlokasi di luar negeri. “Nantinya, yang diatur dalam PP E-dagang adalah pemain e-commerce nasional, sedangkan pemain e-commerce global akan bebas memanfaatkan celah dari PP tersebut,” tambahnya.
Untungnya, setiap kiriman barang dari luar negeri yang masuk ke Indonesia, selalu melewati proses pemeriksaan di bea cukai terlebih dahulu. Bea cukai memiliki peraturan bagi yang membawa barang handcarry dari luar negeri dibatasi impornya dibawah US$ 250,-. Diatas jumlah tersebut harus membayar bea masuk. Namun merajalelanya produk impor yang masuk ke Indonesia dipastikan akan mengancam industri dalam negeri dan juga pemain e-commerce lokal.
Karena itu, Ardiansyah berharap dunia ritel konvensional harus berubah jika ingin tetap exist, karena dengan dukungan sistem logistik yang terus maju dan modern maka ritel melalui e-commerce akan sangat dasyat,” tegasnya.
Dipastikan celah PP No.87/2015 ini pun dapat menerabas peraturan TKDN maupun labelisasi, karena pengecualian pasokan barang dari luar negeri melalu kiriman via kurir atau barang tentengan dari (handcarry) dari luar negeri. Rudi, Ketua Mastel melihat celah ini dapat mengancam industri dalam negeri maupun pelaku ecommerce. “Semoga celah PP No.87/2015 ini segera diperbaiki memasuki era dagang online yang mendisrupsi bisnis dan peraturan yang ada dan Kemendag dan mitranya Kemenperin serta Bea cukai dapat m tanpa membebani pemain ecommerce lokal, agar industri dalam negeri menjadi tuan rumah di negaranya sendiri,” harapnya.
Rudi menambahkan, memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dari sisi bea masuk tidak banyak pengaruhnya, karena sudah banyak tarif bea masuk yang nol, namun dampaknya terdapat pada sektor jasa dan tenaga kerja. Tantangan bagi e-commerce nasional untuk dapat menguasai pasar dalam negeri. Diskusi selanjutnya dengan Ardiansyah akan berlanjut di edisi Komite.id mendatang yang membahas sektor industri dan telekomunikasi. Sedangkan fokus topik Januari/Februari masih berkutat pada industri Ecommerce. Sampai jumpa pada topik berikutnya. (rrusdiah@yahoo.com).