Regulasi Ecommerce: RPP E-Dagang Makin Kompleks Ikuti Disrupsi di Lapangan?

0
3705

Jakarta, KomIT – Seusai rapat membahas draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) di kantor Menko Perekonomian, redaksi Komite.id mewawancarai Fetnayeti, Direktur Bina Usaha Perdagangan (Dir Binus), Kementrian Perdagangan, mewakili Sri Agustina, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (PDN). Beberapa isu yang masih terpending terkait RPP Ecommerce antara lain adalah: (1) Definis dan lingkup transaksi pelaku usaha e-commerce, apakah itu emarketplace (B2C) (Bli Bli, Lazada), iklan baris (OLX, TokoBagus), komunitas (Kaskus), Supply Chain/Eprocurement (LKPP) , Pasar Intermediary (Perantara) dan lain lain.

Rudi Rusdiah, menambahkan di AS sedang populer model Peer to Peer (P2) seperti AirBnB; Uber dan SaaS (Software as a Service) banyak yang akan terkait dengan perdagangan jasa aplikasi atau software di Internet, bahkan menurut Melisa Irene dari East Ventures, SaaS akan menjadi primadona 2016. (2). Sistem Pembayaran terkait Payment Gateway; Kios (Kudo; Kioson) Credit Card (Visa); Debit Card (BCA); Cash on Delivery;E-Money (TrueMoney); Ewallet (Dompetku) dll. (3). Sistem Pengiriman terkait Logistik, Kurir, O2O (Online to Offline) Pickup, Elocker, Distribution Hub dan seterusnya. (4). Objek yang diperdagangkan termasuk Iklan elektronik. Rudi menilai masih banyak isu krusial misalnya isu pajak, isu ownership dan DNI (Daftar Negatif Investasi); isu Crossborder Trading serta FTA (Free Trade Area) dan Regionalisme terkait globalisasi, mengingat Internet adalah dunia tanpa batas fisik ruang dan waktu.

Dari beberapa rapat dengan pelaku ecommerce ada beberapa isu yang menghambat dalam penyusunan RPP e-Dagang , ujar Fetnayeti seperti perkembangan model bisnis dalam e-commerce yang sangat cepat dan munculnya model model bisnis baru yang tidak dikenal sebelumnya seperti Gojek, Uber, GrabTaxi serta aplikasi hotel air BnB yang mendafarkan dan menyewakan rumah dan kamar secara Peer to Peer didunia. Hal ini mendorong Pemerintah dalam hal ini Kementrian Perdagangan untuk lebih hati hati menyusun regulasi E-commerce yang berfokus pada transaksinya bukan industrinya agar relatif lebih fleksibel.

Menurut Fetnayeti tujuan utama penyusunan RPP ini adalah untuk membangun Consumer Trust dan Consumer Confidence dengan cara memastikan adanya perlindungan konsumen dan persaingan usaha yang sehat serta terciptanya ekosistem perdagangan yang aman, yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan transaksi secara online.

RPP E-commerce disusun untuk melaksanakan ketentuan Undang Undang No 7 tahun 2014 tentang Perdagangan dimana beberapa kewajiban pelaku usaha natara lain wajib melakukan pendaftaran sebagai pelaku usaha, menyampaikan informasi yang benar dan jelas mengenai identitas dan legalitas hukum pelaku usaha di wilayah teritori Indonesia, transaksi lintas negara wajib memenuhi ketentuan ekspor dan impor serta wajib menggunakan sistem elektronik yang akuntabel. Rudi menambahkan, seperti yang juga tertera pada PP 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) terkait sistem elektronik dan pendaftaran sebagai PSTE, sehingga perlu adanya harmonisasi antara turunan UU ITE ini dengan UU Perdagangan.

RPP E-commerce terkait DNI memang menjadi pro dan kontra antara pelaku yang ingin agar semakin banyak investor dan dana asing masuk dengan pelaku yang ingin agar saham startup lokal tidak terdilusi (diluted) karena kesenjangan antara modal startup lokal dengan gerojokan dana global venture capital yang tidak terbatas dan mengalir tanpa batas negara, menurut The World is Flat, kata penulis Thomas L Friedman).

RPP E-commerce telah dibahas secara intensif dalam lima rapat antara Kementrian dengan melibatkan Kementrian / Lembaga Terkait (Kemenko Perekonomian, Kominfo, Kemenhub, Kemenperin, Badan Ekonomi Kreatif, LKPP, LIPI, Bappenas, BKPM, Kemenkumham, Badan Perlindungan Konsumen, Kemenkeu, BI, OJK) serta pelaku usaha dibidang e-commerce (idEA, APJII, Mastel, BPKN, BPSK, BRTI, Pandi dll) sebanyak 3 kali. RPP TPMSE terdiri dari 21 Bab dan 87 Pasal, yang disusun untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66 UU No 7 Tahun 2014 tentang perdagangan.

Redaktur Komite beberapa kali bertemu dengan Fetnayeti di beberapa rapat sosialisasi Permen Kemdag serta pada peluncuran Harbolnas 2015 8 Desember 2015 yang diselenggarakan oleh lebih dari 140 pelaku ecommerce (www.harbolnas.com). Sebuah perhelatan yang menggairahkan ditengah kelesuan ekonomi dan rendahnya nilai rupiah pada akhir tahun.

Pada Harbolnas, Fetnayeti merelis angka nilai Ecommerce berdasarkan data yang dilansir oleh Bank Indonesia (BI) terkait dengan penjualan melalui e-commerce di Indonesia yang mencapai US$ 2,6 miliar atau setara dengan Rp 34,9 Triliun pada tahun 2014. Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah pelaku e-commerce baik dari sisi merchant, maupun penyedia jasa sistem pembayaran, transaksi e-commerce diperkirakan akan terus meningkat menjadi US$ 18 miliar atau setara dengan Rp 224,9 Triliun pada tahun 2015.

Rudi menambahkan bahwa sepertinya BI memasukkan transaksi keuangan dunia finansial sebagai omset dari ecommerce, sehingga angkanya menjadi fantastis. Sepertinya memang perlu dilakukan harmonisasi antara angka angka yang dikeluarkan oleh berbagai instansi yang nilainya berbeda beda karena tolak ukur,definisi serta tolak ukur produk ecommerce nya berbeda beda. Disini peran BPS (Badan Pusat Statistik) untuk mengkaji ulang dan melakukan survey mengenai nilai e-commerce di Indonesia, lihat artikel mengenai diskrepansi nilai dari berbagai stakeholder di majalah Komite.id edisi Jan/Februari 2016 (rrusdiah@yahoo.com)