Rudiantara: Self Regulatory Ecommerce, Pemerintah Fasilitator & Enabler

0
3012

Jakarta, KomIT – Seiring makin pesatnya perkembangan teknologi dan model bisnis e-commerce, dimana time capsule di AS seperti film hollywood sudah bisa ditemui di Indonesia dalam waktu sekejab, sehingga tidak mudah bagi pemerintah untuk membuat regulasi RPP E-Dagang dan Roadmap e-commerce. Demikian diungkapkan Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika kepada tim redaksi Komite.id. Sebelumnya Rudiantara yang akrab disapa Chief RA usai mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) e-commerce yang dihadiri delapan Kementrian dan Lembaga nebgara. Antara lain Kominfo; Kemenko Ekuin, Bappenas, BKPM, KemenDag, KemenPrin, Badan Ekonomi Kreatif.

Rudiantara menjelaskan bahwa salah satu kesepakatan yang dicapai oleh tiga instansi adalah terkait DNI hingga 100% untuk EmarketPlace, yang memang diakui merupakan isu sensitif dan pro kontra di lapangan. Banyak pemain yang memiliki lokal investasi besar tentu lebih setuju jika majoritas tetap pada Emarketplace nasional. “Namun bagi pemain yang mendapatkan suntikan besar dan menginginkan agar pemain besar menancapkan investasinya di Indonesia tentunya menginginkan angka yang lebih liberal dan less regulated,” ujar Menteri Kominfo.

Ketika disinggung mengenai data pada pertemuan sebelumnya pernah disetujui angka investasi asing sebesar 33%, 49% dan 67%, Rudiantara menuturkan bahwa investasi asing yang jumlahnya sebesar 100% hanya dibuka untuk investasi di Emarketplace yang lebih besar dari Rp 10 Miliar mengikuti peraturan terkait klasifikasi UMKM. Sedangkan, investasi yang jumalahnya dibawah Rp 10 Miliar tetap di fokuskan pada investor nasional.

Lebih lanjut Rudiantara mendambakan Light Touch Regulations, the less the better menjadi Self Regulation oleh industri ecommerce yang berkembang pesat, analoginya ikan dipegang kencang akan mati, tapi terlalu longgar akan lepas dan hilang. Industri Brick and Mortal dibidang obat obat an (farmasi) mengkritik bahwa sektor Ecommerce menyebabkan beredarnya banyak obat palsu karena obat yang dibeli langsung dari luar lewat ecommerce tidak mempunyai sertifikasi POM.

“Pelaku Ecommerce menangkis dengan banyaknya obat palsu juga disebabkan oleh penyelundupan dan beredarnya obat palsu tanpa melalui transaksi Ecommerce. Ini tantangan regulator mirip jika kita nostalgia soal pornografi yang menyalahkan warnet ketika jayanya warnet, juga oleh pengusaha warnet dikatakan banyak juga beredar video porno bukan dari warnet tapi dari lapak lapak dikota ataupun bisa diakses dari rumah atau handphone dan tidak harus dari warnet,” paparnya.

Rudiantara konsisten dengan nilai Ecommerce di Indonesia $ 8 Miliar (2013); $ 12 Miliar (2014);$ 18 Miliar (2015) dan target $ 25 Miliar (2016) dan $130 Miliar (2020) dari hasil studi dengan konsultan Ernst and Young (EY) melihat data revelue transaksi bidang transportasi seperti Garuda, Lion Air, Hotel dan lainnya, meskipun Komite menampilkan data DBS RI (2014) $ 1.1 Miliar tertinggi di Asean setara dengan Thailand, sedangkan Singapura hanya $ 860 juta saja. Juga data benchmark antara RI Ecommerce dengan India $ 11 Miliar (2013) meningkat menjadi $ 137 Miliar (2020) meskipun penduduk India (1.25 miliar) dan smartphone penetration 350 juta hampir 10 kali penduduk Indonesia (255 juta) dan smartphone (71 juta).

Terkait Startup, Rudiantara mempunyai program menetaskan 1,000 Technopreneur atau 2,000 setiap tahunnya, sehingga akan difasilitasi dengan 8,000 Tech Talks; kemudian 4,000 Workshop Mentoring; diikuti shortlisting melalui kegiatan Hackkaton dan proses Inkubasi terakhir 200 portfolio startup ini mendapatkan Seed Capital dengan total anggaran sekitar US$ 6- 7 juta. Jadi dari 8,000 peserta setelah shorlisting melalui beberapa tahap baru mendapatkan 200 startup artinya keberhasilannya 2.5%,

Selain rencana untuk menetaskan 2 unicorn dari Indonesia. Co-founder Google ketika bertemu Rudiantara menjanjikan akan melakukan inkubasi sebanyak tujuh startup di Silicon Valley. Sedangkan dengan pihak Baidu Browser ingin membangun situs pariwisata bagi 1 juta wisatawan Tiongkok ke Indonesia dengan memanfaatkan programmer dan developer lokal dari Indonesia, mengingat developer ecommerce Indonesia dianggap memiliki credible dan juga mengetahui lokal wisdom serta culture dari Indonesia.

Indonesia mendambakan agar sukses story Ecommerce di Tiongkok seperti Alibaba dengan fasilitasi Pemerintahnya dapat menginspirasi Ecommerce di Indonesia. Indonesia diharapkan juga memiliki produk e-money sehingga tidak perlu menggunakan produk Paypall, Bitcoin yang sulit di lacak transaksinya oleh Bank Indonesia untuk menbangun industrinya serta perlindungan konsumen (rrusdiah@yahoo.com)