Kasus Google I: Menata Kedaulatan Pasar & Pajak Bisnis OTT Global

0
4677

Jakarta, KomIT – Google sudah lima tahun lebih, sejak 15 September 2011 punya entitas dengan nama PT Google Indonesia (PTGI), perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) berdomisili di Sentra Senayan II, yang semestinya sudah cukup lama menikmati eksploitasi pasar digital di Indonesia dan sudah selayaknya menjadi Badan Usaha Tetap (BUT), mematuhi SE Menkominfo Rudiantara.

Jaringan bisnis MultiNational (MNC)disektor digital,IT & OTT sangat agresif merambah masuk pasar Negara berkembang, bahkan Negara di Eropa juga dibuat pusing, namun sayang terkait pajak masih sering berupaya menghindar pajak dengan memanfaatkan celah dari Undang-Undang yang berlaku di masing-masing negara. Dengan modus asimetris, PTGI hanya sebatas kantor perwakilan GoogleAsia Pacific Pte Ltd(GAP) sebagai proxy dan agen administrasi pemasaran saja, karena semua transaksi bisnis dikelolah langsung oleh GAP di Singapura.

Seperti modus di Eropa, Google juga memanfaatkan kantor subsidiari di Irlandia yang tarif pajak terendah di Eropa, serta kantor offshore di Bermuda. Struktur organisasi Global dari Google yang kompleks berjenjang dan menyulitkan pemerintah, dimana PTGI hanya kantor perwakilan/ proxy dari GAP di Asia Pacific, perwakilan dari Google, Inc di Silicon Valley, yang juga masih menjadi subsidiari dari induknya Alphabet Inc, sehingga struktur perpajakannya juga berjenjang termasuk objek pajak dan bisnisnya di pasar domestik RI pun semakin sulit dijamah oleh Dirjen Pajak.

Namun jangan heran, Alphabet/Google Inc, ditenggarai memiliki nilai valuasi terbesar di AS mencapai US$ 82.5 miliar (Forbes:2016) tentu dari 3 Miliar penduduk Internet dunia yang majoritas memanfaatkan Search Engine Google, sehingga kontribusi kapitalisasi rata rata $27 (Rp 351,000) /orang. Jika pengguna aktif Internet RI 88 juta orang, maka ditenggarai menyumbang kapitalisasi sebesar Rp 30.89 Triliun. Angka yang fantastis, namun sulit dijangkau oleh regim perpajakan banyak negara didunia yang menjadi pasar Google. Pendapatan Situs Google $ 15.4 miliar (+24%); Pendapatan Periklanan Google $ 19.14 miliar (+19%); Pendapatan Lainnya $ 2.17 miliar (+33%): (Sumber: Google Financial Report:2016)

Monetizing jasa SEO, Adword dan BigData dari Bisnis Google di Indonesia

Terlepas dari pengakuan Google atau PTGI sebagai proxy admin yang sama sekali tidak melakukan bisnis langsung di pasar Indonesia, namun semua mitra di Indonesia transaksi langsung Google GAP di Singapura, antara lain Jasa SEO (Search Engine Optimizer) data analytics untuk mempopulerkan sebuah situs Internet untuk tujuan promosi, marketing dan present dari banyak entitas baik bisnis & komersial maupun sosial dari UKM sampai BUMN dan MNC.

Monetizing jasa SEO Services yang ditenggarai banyak dijalankan GAP bersama ratusan authorized partner dari Google, memanfaatkan Big Data Search engine dari data base raksasa yang dimiliki oleh DataLakes atau Clouds dari Google. Ditambah value dari analytics dan profiling sebuah data dari setiap keyword, artikel, foto, video, posting yang ada di Big Data Google yang oleh bisnis model dan accounting tradisional akan sulit di hitung nilai atau monetizingnya.

Belum lagi Google Adwords, iklan berdasarkan keywords salah satu produk yang banyak dijual partner domestik Google di tanah air untuk meningkatkan ranking search perusahaan atau produk anda ketika melakukan searching. YouTube juga mulai menjadi penyumbang iklan untuk Google. Dan banyak lagi keuntungan yang diperoleh dari bisnis Data Analytics dan insight dari Database Penduduk RI yang menggunakan layanan Google dari pasar domestik Indonesia. Menurut data APJII Januari 2016, ada 88 juta pengguna aktif Internet, dimana 79 juta aktif menggunakan social media dan 64 juta mengakses dari ponsel mobile.

Menata Kedaulatan Siber

Sudah benar upaya Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menarik pajak dari bisnis Google yang berkembang pesat di pasar RI, meskipun ternyata tidak mudah, karena keengganan Google membentuk BUT dan menjadikan PTGI tidak hadir secara fisik, hanya sebagai proxy admin, sedangkan semua bisnis Google dilakukan dengan GAP, entitas di Singapura. Semestinya PTGI kooperatif dan beretika untuk menjadi BUT dan membayar pajak selama 5 tahun lebih, sesuai dengan nilai bisnis dan usahanya di Indonesia baik dari jasa marketing tools seperti Google Adwords; Google SEO, Youtube, Google Map dan juga bisnis analytics dari customer base Google di Indonesia. Henri Kasyfi, Sekjen APJII juga anjurkan Pemerintah seharusnya mendorong OTT seperti Google untuk mematuhi kewajiban penempatan pusat data di Indonesia sesuai PP 82/ 2012 dan BUT sesuai edaran Menkominfo terkait OTT Global.

Economic Animal: MNC manfaatkan Celah UU Pajak didunia

Kasus pajak Google bukan semata monopoli Dirjen Pajak RI atau Menteri Keuangan RI, karena seiring meningkatnya jaringan bisnis perusahaan MNC Google dan Alphabet, maka banyak gesekan yang timbul dengan aparat pajak di manca negara didunia, seperti yang juga dialami Apple antara lain: Lembaga Pengawas Keuangan Italia sudah sejak awal 2016 memeriksa laporan keuangan & pendapatan Google 2003-2009 sebesar 277 juta Euro, karena laporan yang di-deklarasi Google hanya 54.4 juta Euro dengan membayar pajak 2.2 juta Euro memanfaatkan tariff pajak murah (safe haven) Irlandia, di EU. Di Ingris Google pun terkena masalah audit pajak dan harus mengganti pajak terhutang sebesar $ 185 juta, sedangkan pajak yang dibayar hanya US$ 16 juta dari pendapatan US$ 18 miliar.

Di Perancis pun Google ditenggarai memiliki tunggakan pajak mencapai 1,6 miliar. Pemerintah Spanyol pun tidak mau ketinggalan dan menggerebek kantor Google di Spanyol karena tidak membayar pajak PPN. Komite.ID edisi Mei-Juni 2016 pernah melaporkan fenomena disrupsi tataran Negara di dunia sbb: Kalau dulu urutan Negara besar didunia adalah 1. China; 2. India; 3. USA; 4. Indonesia, kini urutannya menjadi 1. Google, 2. Facebook, 3. China, 4. Whatsaps, 5. India, 6. AS, 7.Indonesia, sehingga perusahaan seperti Google dan Facebook didunia sekarang sudah sejajar dengan Negara sekelas Tiongkok; India; USA, Indonesia dalam hal populasi dan pelanggannya.

Bagaimana MNC Manfaatkan Celah UU & Perpajakan RI?

Jika di Eropa Google memanfaatkan safe haven Irlandia dan offshore/ cangkang Google Bermuda Unlimited dengan pajak korporasi nol persen, maka di Indonesia transaksi bisnis dilakukan langsung via GAP, Singapore yang tariff pajak korporasinya lebih murah, sedangkan PTGI hanya sebagai agen independen administrasi yang hanya menerima komisi 8% untuk admin pemasaran saja, ujar Haniv, Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus (Bisnis: 19/9). Dengan margin 8% yang kecil, maka ditenggarai 92% pajak yang terutang, tidak dapat diraih DJP, apalagi jika dihitung tunggakan dan denda administrative untuk jangka waktu 5 tahun Google beroperasi di RI.

Skema serupa juga dulu digunakan oleh perusahaan software Global, dimana lisensi software dijual sebagai barang jadi dan Pemerintah hanya bisa menarik pajak dari komisi penjualan oleh mitra/partnernya yang sangat kecil dibandingkan dengan harga value added softwarenya. Ketua Umum Mastel, Kristiono juga mendukung langkah Dirjen Pajak yang mewajibkan Google mendirikan BUT di Indonesia. Pola economic animal memanfaatkan keuntungan sebesarnya dari cela kelemahan UU dengan hanya membayar pajak untuk 8% margin dari total bisnis , tanpa memikirkan pasar negara yang dieksploitasi. Semestinya Google menggunakan kesempatan Tax Amnesti (TA) pemerintah Jokowi sehingga dapat menghemat denda administrative dan fasilitas lainnya dari TA, daripada menghadapi pidana, karena menolak untuk diperiksa dengan argumentasi perjanjian penghindaran pajak berganda/tax treaty RI dengan Singapura, yang tidak mewajibkan adanya BUT dan tariff pajak Singapura yang lebih murah.

Skenario Haniv untuk mengusut dugaan pidana pajak Google dan meningkatkan menjadi penyidikan, karena surat Pemeriksaan Dirjen Pajak ditolak oleh GAP di Singapura. Ada dua landasan pidana perpajakan yaitu pelanggaran terhadap: (1) UU PpH yang mewajibkan objek pajak membayar pajak dari bisnisnya di Indonesia; (2).Pelanggaran terhadap UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan karena menolak pemeriksaan. Skenario jika terbukti bersalah, setidaknya Google harus membayar Rp 5.5 Triliun (Tempo: 21/9). Apalagi ditenggarai Google bersama Facebook telah melahap kue iklan 2016 sebesar Rp 13 Triliun meningkat hampir 20% dari tahun sebelumnya, dan ironisnya Pemerintah tidak dapat memungut pajaknya. (Tempo: 21/9/2016).

Bagaimana Strategi Sri Mulyani dan Rudiantara jaga kedaulatan Pasar & Pajak.

Ketentuan BUT (Badan Usaha Tetap) dibuat wajib memfasilitasi ketentuan pajak, sesuai Surat Edaran Menkominfo No 3/2016 pada 31 Maret 2016 tetang Penyediaan Layanan Aplikasi dan Konten Melalui Internet atau OTT (Over the Top). Evita Nursanty, Anggota Komisi I, DPR pun mendesak agar Google patuh membuat BUT sesuai SE Menkominfo yang harus disusul dengan RPM paling lambat 1 Maret 2017. Indonesia dapat menimba aksi yang dilakukan Italia, Perancis Ingris menerapkan kewajiban pengungkapan (aggressive tax planning) sepeti Negara OECD/G20 dan membuat aturan pajak baru khusus bagi perusahaan Internet seperti Google, Facebook dan Twitter yang beroperasi di RI, serta memperbaiki Tax Treaty dengan Singapore yang sangat lemah untuk dapat menarik pajak dari perusahaan OTT Global yang beroperasi di Indonesia seperti Google, Facebook dll.

Tujuan BUT bukan hanya untuk menarik pajak, Kehadiran company present, namun juga kehadiran memberikan pelayanan dan perlindungan pelanggan di tanah air. Menurut Rudi Rusdiah, editor Komite.ID, “Strategi OTT Raksasa memang membuat Pemerintah gundah dan khawatir untuk bertindak keras, dengan ancaman Google atau OTT akan hengkang, karena Indonesia tidak semujur Tiongkok yang sejak awal berani mengusir Google, karena sudah mempersiapkan Baidu Search Engine untuk backupnya”. Ditambahkan Rudi: “Namun perlu diingat masih ada banyak Search Engine yang lain seperti Bing, Microsoft atau Yahoo, jadi tidak lagi monopoli Google untuk membuat Pemerintah RI harus bertekuk lutut dan mengorbankan kedaulatannya, serta PT Baidu Indonesia pun akan dengan senang hati mau membantu mengisi kekosongan, jika Paman Google hengkang”. It ulah perang diplomasi asimetris Informasi di era (Big) Data Technology yang juga dari ABDI (Asosiasi Big Data Indonesia). (rrusdiah@yahoo.com