Transformasi Ritel Tradisional ke MultiChannel O2O Ecommerce, berhasilkah?

0
4120

Jakarta, KomIT – Apakah betul Pasar Ritel Tradisional terdisrupsi oleh Bisnis Ecommerce ? “Karena kita terbuai pada angka pertumbuhan ecommerce seperti Amazon yang meningkat 1000% dalam kurun waktu beberapa tahun. Juga kapitalisasi pasar dari Wallmart yang meningkat 50% di AS dan pasar Global”, ujar Akshay Garg moderator di IESE mengawali diskusi untuk menyulut para panelist yang hadir pada IESE (Indonesian Ecommerce Summit & Expo) di ICE BSD. “Pertumbuhan di AS ini menggerus pemain tradisional ritel seperti KMART, Target, Sears, demikian juga dengan raksasa Tiongkok seperti Alibaba.com dan JD.com yang mulai merambah Asia dan Amazon yang masuk pasar India”, tambah Garg.

Memang menarik sekali diskusi panel dengan judul “Moving from Bricks to Click: How brands and products are embracing multichannel ecommerce” diterjemahkan menjadi “Transformasi dari Ritel Tradisional menjadi Internet Ritel atau Ecommerce, dan bagaimana produk dan merek terkenal memanfaatkan multichannel ecommerce”. Panelist terdiri dari sektor ecommerce diwakili oleh Kusumo Martanto CEO Blibli.com dan Simon Torring, Head of Innovation and Omni Channel, Sephora Digital Asia, bersama kubu tradisional brick & mortal diwakili oleh pemain pemegang lisensi brand terkenal dunia untuk Indonesia, MAP Group diwakili oleh VP Sharma beserta Donny Maya Wardhana CEO Acommerce Indonesia lebih focus ke bisnis fullfilment nya seperti logistik. Moderator Akshay Garg CEO dari Kredivo.

Menurut Simon dari Sephora pemain global produk kecantikan dan fashion, bahwa sulit membuat garis pembatas antara bisnis online dan offline, karena saat ini bisnis online dan offline harus saling menunjang. Misalnya masyarakat menggunakan ecommerce atau online untuk tujuan melakukan riset harga, kualitas dan mengecek spesifikasi barang yang mudah dilakukan online, dibandingkan harus mendatangi beberapa toko, apalagi jika trafik sangat macet. Sebagiannya kemudian melakukan pembelian atau disebut conversion istilah ecommerce, sehingga bisnis online harus dapat mempertahankan customer experienced (pengalaman pelanggan) agar tetap berbelanja online.

Bahkan menurut Sharma pemain ritel tradisional brand terkenal di indonesia, ketika MAP sukses melakukan kampanye digital marketingnya online, malahan tradisional sales dan traffic cenderung meningkat ditoko toko MAP, sehingga digital marketing menjadi complementer dari marketing tradisonal dan bukan ancaman.

Awalnya MAP juga concerned dan khawatir dengan adanya hype bahwa bisnis ecommerce akan mendisrupsi bisnis tradional ritel, sehingga juga secara paralel mulai membangun bisnis ecommerce dan loyalty card online melalui MAP.com.

Sephora pun mendapatkan dana besar dari venture capital sehingga melakukan investasi teknologi digital marketing dan ecommerce yang cukup intensif, namun selang beberapa waktu peningkatan kontribusi ecommerce grafiknya melandai dan mendatar menjadi sekitar 20-25% terhadap bisnis ritel tradisonal, artinya majoritas pendapatan revenue masih tetap dari bisnis tradional. Sephora melihat perjalanan klien (customer journey) diawali di web atau ecommerce dan beberapa berhenti melakukan pembelian rutin untuk memenuhi stok kebutuhan pelanggan, namun banyak juga perjalanan klien menuju toko toko fisik tradisional yang tersebesar didunia. Ini disebut web prestore customer experienced.

Sephora tetap mempertahankan model bisnis offline dengan menjaga stok kebutuhan pelanggan ditunjang oleh program preferred card (kartu loyalitas) bagi pengunjung yang merupakan anggota dari took Sephora yang dapat berkonsultasi langsung dengan staff Sephora ditoko toko tradisional yang tersebar banyak didunia berpusat di AS. Sehingga akhirnya majoritas panelis setuju bahwa online dan offline bisnis perdagangan ini tidak lah menjadi ancaman malah harus dilakukan bersama sama atau dikenal dengan omnichannel distribusi.

Kusumo juga melihat bahkan marketing online, deliverynya tetap offline jadi konsep O2O (Online to Offline), artinya klien memanfaatkan web untuk pre-store experienced hingga fullfilment pembayaran produk, namun pengirimannya tetap offline terutama untuk produk besar seperti automotif. Untuk produk otomotif tetap saja pengiriman dan menyiapkan produk harus dilakukan oleh partner toko dan servis center yang tersebar dibanyak kota di Indonesia,yang fullfilmennya tidak mungkin dilakukan secara online, meski transaksinya online (O2O).

Kedua kubu yang menjadi panelist setuju bahwa ecommerce bukan ancaman (threat) bagi bisnis ritel tradisional demikian juga bagi pemain ecommerce menyadari bahwa toko tradisonal dan fulfilment center masih tetap penting dan bukan ancaman.

Blibli.com harus menyediakan pelayanan multichannel O2O sehingga pelanggan tidak merasakan pengalaman adanya jurang pemisah antara offline dan online, karena pelanggan ingin kenyamanan berbelanja. Namun harus disadari bahwa terlepas hype atau heboh bisnis ecommerce sehingga banyak startup ingin masuk di bisnis ecommerce, padahal tetap saja bisnis tradisional masih tetap laris manis. Perlu diingat revenue dari industri ritel tradional sebesar $ 350-400 miliar, sedangkan industri ecommerce menghasilkan revenue hanya $6 hingga $8 miliar, artinya bisnis ecommerce masih sangat kecil di Indonesia, yaitu 2-3 % saja artinya kenyataannya 98-97% masih tetap mengandalkan bisnis ritel tradisional. Jadi disrupsi ritel tradisional oleh ecommerce masih hype dan dibesar besarkan saja.

Di AS kontribusi ecommerce saja baru 10% dan tertinggi kontribusi ecommerce di China sekitar 12% saja dari revenue tradisional, bayangkan! Artinya banyak merek yang masih belum minat untuk melakukan jalur ecommerce atau digital marketing.

Pengalaman Blibli.com yang memulai bisnisnya di 2011, bahwa tahu pertama sangat sulit mengajak distributor dan prinsipal merek terkenal untuk kolaborasi dan menggunakan marketplace dari Blibli.com. Awalnya banyak distributor besar enggan investasi di ecommerce karena memiliki ribuan toko cabang yang menjual smartphone dan ecommerce belum populer. Rahasia Blibli.com ketika sulit mengajak pemain grosiran besar, maka Blibli.com mulai mengajak pemain kecil ritel untuk memanfaatkan marketplace Blibli.com. Namun sekarang sudah berbeda dan lebih mudah bagi blibli.com meyakinkan distributor dan prinsipal pabrik dan merek.

Donny juga sepakat bahwa ada 3 tantangan going omni channel pertama investasi besar, integrasi dan feasibility studi di teknologi IT untuk menghasilkan service level yang prima. Kemudian tantangan terbesar adalah logistik yang biaya nya tertinggi secara global, sehingga optimisasi biaya menjadi penting, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17,000 pulau.

Apalagi banyak ecommerce melakukan distribusi melalui Jakarta yang tersentralisasi. Donny menganjurkan kerjasama kolaborasi dengan pemain logistik seperti Gojek, karena Acommerce harus tetap berhemat, mengingat (1) kompetisi sangat keras dan dana investasi sangat terbatas; (2).Banyak perusahaan seperti Gojek memiliki infrastruktur yang prima untuk menangani peak hour biasanya jam 5 sampai jam 8.00 dan jam 16.00 sampai jam 20.00, artinya diwaktu non peak hour banyak kapasitas yang idle atau masih dapat menerima order dari perusahaan ecommerce.

Jadi sekarang banyak perusahaan menyadari bahwa online channel untuk brand marketing sangat penting.
Dahulu seakan bisnis ecommerce itu murah karena tidak perlu investasi toko, menyewa lahan di mall yang sangat mahal. Namun dengan semakin matangnya industri ecommerce dan kompetisi yang semakin tajam, maka investasi cost structure menjalankan ecommerce menjadi sangat tinggi apalagi jika ingin menjadi diferensiator atau comparative advantage, ujar Simon. Staff IT dan Data Scientist gajinya meningkat drastis sesuai dengan kompetensi nya dan sulit mencari data scientist. Marketing cost juga naik drastis, karena sekarang marketing cost dihitung berdasarkan klik dan bit pace memanfaatkan Google Adwords, dan FB advertorial. Customer touch point dan personalisasi untuk mapping customer journey dan eksperience menjadi strategic. Jadi investasi ecommerce tidak lagi rendah dan semakin kompleks dibandingkan dengan bisnis ritel tradisional karena persaingan antar pemain juga sangat tinggi, sehingga tidak mudah mendapatkan competitive advantage dari teknologi seperti pada fase growth dari industri ecommerce ini.

Akhir kata, memasuki dunia ecommerce bukan langkah tactical cepat untuk mendapatkan ROI segera atau sales dan trafik tinggi dalam waktu singkat 1-3 tahun, namun strategi jangka panjang 15 tahun yang akan datang ketika pasar dipenuhi oleh Millenial yang lebih prefer memanfaatkan bisnis online dan ecommerce. Momentum dan kesempatan harus dipelajari matang matang oleh para C level baik perusahaan tradisional maupun ecommerce.

Sebelumnya Sephora melakukan outsourcing digital marketing yang menganalisa customer experienced. Namun sekarang Sephora melakukan analytics customer experienced dan digital marketingnya inhouse karena digital marketing ini dianggap sebagai differensiator alias competitive advantage sehingga terlalu riskan untuk di outsource, sehingga Sephora investasi banyak analyst dan data scientist untuk memenuhi kebutuhan ini. Selamat datang di era Big Data (rudi.rusdiah@gmail.com)