Jakarta, KomITe- Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) berkolaborasi dengan Pusat Integritas Digital Asia (ACDI) dan didukung oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), meluncurkan program baru untuk mengedukasi para pelaku bisnis (perusahaan) mengenai pentingnya menggunakan perangkat lunak asli demi keamanan dari risiko kejahatan cyber.
Penggunaan sofware asli diyakini mendorong keunggulan kompetitif brand perusahaan baik di level nasional maupun aktivitas bisnis global. Justisiari P. Kusumah, Ketua MIAP mengatakan, melalui program yang disebut PIAGAM SOFTWARE ASLI (PSA), perusahaan diharapkan untuk secara sukarela berpartisipasi, melalui proses audit independen yang dilakukan oleh mitra ACDI.
“Kami akan memulai dengan mendorong anggota MIAP yang semuanya pemegang merek, dalam inisiatif untuk secara sukarela mengaudit dirinya sendiri. Program ini kami dukung karena gratis. Selain audit ada tips untuk menghindari serangan cyber, bagaimana cara untuk meningkatkan keamanan dan bagaimana perusahaan dapat mengelola aset perangkat lunak yang rumit,” ungkap Justisiari, di Jakarta, Senin (23/10).
Dia mengungkapkan, MIAP dalam satu survey bersama Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) terhadap 500 responden perusahan di Jakarta dan Surabaya, mendapati masih adanya niat untuk menggunakan produk palsu yang tinggi, terutama keinginan menggunakan produk elektronik ‘KW’ alias bajakan. “Kami lakukan studi willingness ke konsumen terhadap tujuh bidang industri. Dari 500 respoden, ketika ditanya masih ingin gunakan produk bajakan/palsu, jawabannya masih,” ungkapnya.
Elektronik bajakan paling diminati hingga 50% responden. Diikuti sofware bajakan di level 30-an persen. Ini angka yang mengkhawatirkan mengingat perusahaan ini ada produk jasa yang dinikmati konsumen. “Misalnya di bank, kalau mereka menggunakan sofware bajakan, data nasabah akan sulit dijaga keamanannya, karena ada risiko malware, maka akan merugikan nasabah,” tegasnya.
Untuk itu, melalui program Piagam Sofware Asli ini, perusahaan akan diaudit dan diedukasi soal bahaya penggunaan sofware palsu. “Kita berharap perusahaan bisa meng comply. Sehingga produknya aman dan saat memasuki pemasaran di negara lain, bisa diakui,” katanya.
Widyaretna Buenastuti, Juru Bicara ACDI menjelaskan, perusahaan yang berminat untuk diaudit bisa langsung mengunjungi sekaligus mendaftar untuk dilakukan assesmen oleh konsultan ICDI. Setelah menyelesaikan proses yang disyaratkan kurang lebih selama dua bulan, perusahaan akan menerima sertifikat kepatuhan. “Program ini merupakan layanan gratis untuk membantu bisnis di Indonesia tetap aman dan legal. Dan sertifikat ini berlaku setahun dan akan dievaluasi untuk mendapatkan sertifikat di tahun berikutnya,” ungkapnya.
Dia menyebutkan, Indonesia telah lama menjadi salah satu negara di dunia yang paling rentan terhadap serangan cyber, mengingat pengguna internet di Indonesia saat ini telah melampaui 130 juta pengguna. Tak heran jika Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII) melaporkan bahwa ada peningkatan serangan cyber sebesar 50% pada tahun 2016 dibandingkan tahun sebelumnya.
Bahkan, lanjutnya, menurut studi terbaru tahun 2017 oleh Fakultas Teknik Universitas Nasional Singapura (NUS), resiko keamanan cyber dari Perangkat Lunak Palsu/Bajakan, menemukan bahwa 92% komputer baru dan tidak terpakai yang berperangkat lunak bajakan yang terpasang di Asia Tenggara, sudah terinfeksi dengan malware. “Sampel komputer ini dibeli dari vendor yang diketahui menjual perangkat lunak palsu/bajakan,” katanya.
Sementara Brigjen Pol. Agung Setya dari Direktorat Tipideksus Bareskrim Mabes POLRI mengatakan, jika perusahaan memperoleh Piagam Sofware Asli ini, tentunya akan meningkatkan laju aktivitas bisnis yang saat ini semua prosesnya bisa dikontrol secara digital. Maka sofware asli harus menjadi pilihan utama perusahaan. “Sofware bajakan itu melanggar hak intelektual pemegang hak cipta dan hak konsumen. Hak ini yang perlu dilindungi. Perlindungan ini penting supaya masyarakat merasa terus terlindungi. Dan kita pengguna juga merasa aman, sehingga terhindar dari penggunaan sofware palsu.
Memang sulit membedakan software asli dan palsu. Untuk itu Kepolisian terus menggandeng stake holder terkait untuk terus meredam peredaran barang palsu. “Karena kami bekerja berdasarkan delik aduan. Tidak bisa serta merta melakukan penindakan, kendati infrastruktur cyber yang dimilki kami memungkinkan itu,” katanya. Ia menambahkan, para pelaku pembajakan memang menghendaki tidak ada kolaborasi aparat dalam menumpas barang palsu, sehingga pergerakan mereka lebih bebas. (red/PS)