Jakarta, KomITe.ID – Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, merilis data peningkatan jumlah desa. Tahun 2015 tercatat 74,093 meningkat menjadi 74,754 di 2016 dan 74,910 di tahun 2017. Terdapat 514 Kabupaten/Kota dan lebih dari 6,542 kecamatan tersebar di hampir 17,000 pulau. Hal ini menjadikan RI sebagai negara kepulauan (archipelago) terbesar di dunia dan menempati ranking 4 dunia untuk jumlah penduduk 260 juta lebih di tahun 2016.
PBB telah mengakui 16,056 pulau dan memverifikasi 2,509 pulau yang memiliki nama sebagaimana dirilis Kementrian Kelautan dan Kepulauan. Dengan jumlah yang signifikan ini, tentu menjadi tantangan tersendiri dalam mengembangkan daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal).
Menjawabi WSIS goal 2015 yang mengusung impian agar seluruh desa, rumah sakit, sekolah sudah mempunyai telecentre/wardes (warnet pedesaan) atau internet akses di tiap desa dan kecamatan, maka BP3TI dan Kementrian Kominfo menggelar PLIK dan MPLIK. Namun sayang, upaya ini terjaring politis dan tanpa hasil yang maksimal.
Anang Latif, Dirut BP3TI (Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi) berbagi kisah dengan KOMITe.ID di ruang kerjanya di Wisma Kodel Jakarta (24/11).
Sejarah BP3TI & USO
BP3TI ditugaskan untuk menyelesaikan persoalan konektifitas seturut mandat UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Pekerjaan ini dapat diselesaikan baik oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ataupun swasta.
Dulu pemerintah menyiapkan dua BUMN raksasa yaitu PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) dan PT Indosat untuk dapat membangun daerah rural (perdesaan). Dalam perjalanannya Indosat terpaksa dijual ketika negara dalam kondisi krisis dan Telkom ketika mulai diprivatisasi dan go publik, sehingga fungsi pembangunan daerah perdesaan berkurang. Telkom tidak dapat sepenuhnya diharapkan oleh Pemerintah untuk membangun daerah yang tidak feasible (layak) secara ekonomi. Sebanyak 43,000 desa yang belum terjangkau telekomunikasi menurut siaran pers No. 104/DJPT.1/Kominfo/8/2006.
Akhirnya 2006 dilakukan deregulasi dan dirancang dana khusus untuk membangun daerah 3T, yang dinamakan dana USO (Universal Service Obligation) atau Kewajiban Universal. Awalnya dibentuk Badan Layanan Umum (BLU) menerapkan PPK (Pola Pengelola Keuangan) oleh Departemen Keuangan bernama BTIP (Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan) pada 22 Desember 2006 oleh Basuki Yusuf Iskandar, Dirjen Postel Departmen Kominfo, berdasarkan Keputusan Menkominfo No. 182/KEP/M/Kominfo/12/2006, yang hingga sekarang berubah menjadi BP3TI.
Program Nawacita dan Tantangan BP3TI Ke Depan
Dana USO, dari hasil pungutan 1.25% pendapatan kotor operator telekomunikasi menjadi solusi untuk melakukan tugas melengkapi konektivitas. Dana ini dipakai oleh operator komersial baik BUMN maupun swasta yang secara finansial tidak layak. “Total dana yang terkumpul saat ini 2017 melampui ekspektasi, sebesar Rp 2.5 Triliun,” ujar Anang.
Dari data analytics yang diolah saat ini, seluler hanya menjangkau sampai 88% desa, masih menyisakan 12% desa atau sekitar 9,000, desa 3T yang belum terjangkau oleh jaringan seluler telekomunikasi.
Persoalannya adalah operator telekomunikasi sudah membangun 88% desa wilayah NKRI sejak tahun 2000 hingga sekarang, artinya hampir 17 tahun, namun BP3TI ditugaskan untuk membangun 12% yang tersisa ini dalam kurun waktu kabinet Kerja 2019 ini sesuai program Nawacita, artinya hanya dalam kurun waktu 1.5 tahun saja. Ini tantangan BP3TI dan Kementrian Kominfo berupa mandat untuk menyelesaikan semua masalah konektifitas sampai 2019, apalagi 12% ini adalah lokasi 3 T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) yang termasuk Tersulit mengingat negara kita terdiri dari sekitar 17,000 pulau dan 70% adalah lautan.
Sehingga kebijakan BP3TI yang dicanangkan Anang selaku Dirut adalah melakukan konsolidasi dan koordinasi semua stakeholder di industri telekomunikasi seperti asosiasi, operator, vendor dan para pendekar telematika seperti Koesmarihati Sugondo, Garuda Sugardo, Hasnul Suhaimi dan komponen media dan masyarakat diajak untuk menyelesaikan semua tantangan ini
BP3TI sedang menyiapkan sebuah program untuk dapat menyusuri dan membangun semua desa yang belum ada sinyal telekomunikasi 2G, padahal kelak akan bergeser ke 3G dan 4G, agar bisa mendapatkan internet dan data kecepatan tinggi. “Sekarang 4G baru menjangkau 50% desa, perlahan lahan desa 12% 3T yang sedang kita bangun dengan 2G ini kelak akan menggunakan 4G,“ ungkap Anang.
“Kenapa tidak langsung 4G dari awal? Karena isu biaya transmisi masih mahal, ketika harus 4G. 12% daerah terpencil dan terluar ini pilihannya hanya melalui satelit. Transmisi satelit ini mahal, karena masih memanfaatkan sebagian satelit asing dan low throughput. Jika BP3TI dan Kementrian Kominfo sudah memiliki satelit sendiri dari jenis yang HTS (High Throughput Satelit) Nasional, maka kita bisa menggunakan kapasitas satelit yang kita miliki sendiri dan menghemat devisa serta biaya transmisi yang mahal untuk daerah 3T ini,” tandas Anang.
Pemerintah mencanangkan program yang dinamakan Satelit Multi Fungsi yang termuat dalam RPJMN (Rancana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) untuk dilaksanakan mulai tahun ini. Kontrak dan pemilihan mitra akan dilaksanakan di tahun 2018.
Seluruh kapasitas satelit ini nanti milik Pemerintah, namun karena teknologi yang digunakan adalah HTS yang cukup canggih, maka konstruksi satelit ini membutuhkan minimal waktu yang cukup lama hingga 36 bulan. “Artinya baru 2021 akhir dapat diluncurkan dan 2022 awal baru dapat beroperasi melayani NKRI, dan footprint jangkauannya termasuk daerah 3T, sehingga konektifitas seluler NKRI sudah dapat menjangkau seluruh desa (100%),” lanjut Anang.
Jadi tantangannya adalah sebelum satelit ini dapat diluncurkan dan dimanfaatkan pada 2022, maka selama 3 tahun ini penggunaan transmisi seluler untuk keperluan 4G harus dihemat, karena keterbatasan dana USO mengingat harga komersial di pasar untuk transmisi backbone dari BTS Seluler ini masih sangat mahal. Untuk sementara teknologi 2G digunakan dengan skala prioritas untuk 4G. Awalnya fokus pada layanan Voice dan SMS 2G, nanti ditingkatkan ke layanan data dan internet 4G.
Hampir 75% dari komponen harga Opex sebuah BTS adalah biaya transmisi backhaul satelitnya, jika menggunakan 4G jauh lebih mahal dari biaya 2G, ditambah biaya enerji, jika harus menggunakan solar panel atau air untuk daerah daerah yang sangat terpencil seperti di daerah perbatasan Kalimantan Utara (Kaltara) atau Papua.
Menkominfo meminta masalah infrastruktur telekomunikasi dapat diselesaikan di tahun 2019, karena ini ‘jalan tol’ backbone/backhaulnya Palapa Ring, sedangkan BTS seluler untuk last milenya menjangkau 12% yang tersisa. Palapa Ring dirancang untuk terminasi di 500 lebih ibu kota kabupaten.
Beberapa desa dapat dilayani jaringan terestrial, juga dapat melalui satelit sebagai backhaul dan backbone. Jika jaringan satelit sebagai backbone dikomunikasikan semua ke Jakarta maka akan sangat berat, mengingat lebih banyak komunikasi terjadi antara penduduk dan komunikasi lokal, sehingga harus ada kombinasi antara telekomunikasi satelit dan terestrial.
“BP3TI sudah membangun 300 BTS menggunakan Satelit dan listriknya menggunakan solarcell sebagai primary dan diback up oleh genset. Mengingat lokasinya sangat terpencil, mesti melalui angkutan udara sebab belum ada jalan darat untuk angkutan BBM bersudsidi dari Pertamina. Sedang untuk site 4G, komponen termahal masih tetap bandwidth dan transmisi yang mencapai 75% dari biaya operasional sebuah BTS di daerah 3T. Sebagai perbandingan untuk 2G Opexnya sekitar Rp 50 juta, sedangkan 4G jauh lebih mahal, karena masalah komponen biaya transmisi telekomunikasi,” tegas Anang.
Sebelumnya, Peraturan Presiden No. 131 Tahun 2015 menyatakan 122 kabupaten masih dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Dana USO digunakan untuk membangun 45 site 4G, sedangkan 2G sudah terpasang lebih dari 300 site untuk desa 3T dari rencana 400 desa di 2017.
5,000 desa dari 122 kabupaten dicanangkan untuk 2018, dan sisanya 4,000 desa harus disurvei ulang untuk memastikan ada pemukimannya sebagai definisi desa yang dilayani oleh program USO ini. USO juga digunakan untuk membangun koneksitas Internet di 80,000 sekolah dan pembangunan Desa Broadband terpadu.
Progres proyek Palapa Ring Paket Wilayah Barat sudah mencapai realisasi 77%, Paket Tengah lebih dari 50% sedangkan Paket wilayah Timur baru 27%, terkendala pengakuisisian lahan, mengikuti budaya dan adat setempat serta kendala geografis. Untuk jaringan laut, mengingat Indonesia negara archipelago terbesar di dunia dengan 70% wilayahnya laut, maka pembangunan Palapa Ring ini jika harus melalui laut dan daerah konservasi yang dilindungi mesti mendapatkan ijin lingkungan dari Kementrian Kelautan. (*)