Jakarta, KomITe- Kebijakan Energi Nasional (KEN) Indonesia menargetkan adanya peningkatan bauran energi terbarukan menjadi 23% dalam bauran energi primer Indonesia di tahun 2025. Target ini dijabarkan lebih rinci dalam Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) khususnya untuk pembangkitan listrik dari energi terbarukan sebesar 45GW atau diperlukan tambahan sekitar 36 GW dari kapasitas pembangkit yang ada.
Saat ini, pembangkit Listrik Tenaga Surya ditargetkan mencapai 6,4 GW pada tahun 2025. Kebijakan ini sejalan dengan komitmen pemerintah pada Conference of Parties (COP) 21, atau dikenal dengan sebutan Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Perubahan Iklim (UNFCCC)untuk mengurangi emisi gas rumah kaca khususnya CO2 sebesar 29% pada tahun 2030. Hingga kini kapasitas pembangkit energi terbarukan baru mencapai 9 GW, dan kapasitas pembangkit surya total masih dibawah 100 MWp dengan potensi nasional yang mencapai 560 GWp.
Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) terus mendorong pengembangan energi surya di Indonesia. Upaya ini disebutnya sejalan dengan target capian energi baru terbarukan (EBT) yang dicanangkan dalam KEN. “Pencapaian target pengembangan energi surya akan mendorong pengembangan EBT di Indonesia. Saat ini, energi surya baru tercapai 900 megawatt (MW), sedangkan targetnya dalam delapan tahun ke depan sebesar 6,5 gigawatt (GW),” ujar Ketua Dewan Pakar AESI, Nur Pamudji, dalam sebuah diskusi bertajuk Memanen Potensi Listrik Surya Atap Untuk Mencapai Target EBT, Sabtu (29/6).
Menurut Nur Pamudji, target energi surya sebesar 6,5 GW dapat tercapai dengan cara menggenjot pengembangan listrik surya atap (solar rooftop). Pembangunan listrik surya atap dapat dilakukan di rumah pribadi, gedung pemerintah, gedung komersil, rumah ibadah, atap pabrik, kawasan industri serta fasilitas publik lainnya. “Ini sejalan dengan apa yang dicanangkan dalam Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap dengan mendorong pemanfaatan teknologi surya mencapai kapasitas terpasang 1 GW pada tahun 2020,” paparnya.
Tak hanya itu, saat ini terdapat gerakan global oleh perusahaan-perusahaan multinasional termasuk yang memiliki investasi di Indonesia untuk berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan mencapai 100 persen yang dinamakan RE100.
Nur Pamudji menambahkan, dengan memanfaatkan energi surya atap merupakan salah satu cara bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk memenuhi komitmen dan target mereka karena dapat langsung dipasang di atap fasilitas produksi, atap rumah, atap gedung di mana sebagai tempat bekerja. Namun untuk mendorong terbangunnya secara masif, surya atap di Indonesia perlu regulasi untuk memudahkan pelanggan memasang energi surya atap tersebut tanpa harus membebani anggaran pemerintah maupun PLN.
“Untuk memasang energi surya atap ini pada dasarnya cukup mudah. Hanya perlu regulasi atau izin yang memudahkan pelanggan,” katanya.
Hal senda juga disampaikan Direktur Institute For Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Fabby menyarankan agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera merumuskan regulasi yang mendorong pemanfaatan teknologi listrik surya atap secara ekonomis. “Adanya regulasi yang memadai dapat mendorong perkembangan pasar teknologi photovoltaic di Indonesia, yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya teknologi dan investasi, serta membuka lapangan kerja,” paparnya.
Fabby menilai, pemerintah wajib mendorong pengembangan energi surya atap. Kementerian sebaiknya segera merumuskan regulasi guna mendorong perkembangan pasar teknologi energi listrik surya atap (photovoltaic) di Indonesia. Adanya regulasi yang mudah dapat menurunkan biaya teknologi investasi serta membuka lapangan kerja. “Seperti kita lihat di banyak negara pengembangan energi surya di dorong sangat masif karena lebih murah dibandingkan dari batubara. Dengan investasi yang rendah maka dapat menurunkan biaya pembangkit listrik,” kata Fabby.
Dia menjelaskan, potensi potensi energi surya atap sangat besat di Indonesia. Berdasarkan laporam IRENA pada 2017 lalu potensi tenaga surya di Indonesia mencapai 3,1 GW per tahun di mana, sekitar 1 GW merupapakan potensi listrik surya atap dan 2,1 GW untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Namun sayangnya, belum ada regulasi yang memadai untuk mendorong pengembangan listrik surya atap. Bahkan Permen ESDM No 1/2017 justru menghambat pemanfaatan teknologi listrik surya atap khususnya untuk bangunan komersil dan industri serta fasilitas publik. Regulasi tersebut secara tidak langsung menghambat pemilik gedung dan pabrik serta kawasan industri memasang PLTS di atap bangunan karena secara ekonomi lebih mahal dengan adanya ketentuan membayar kapasitas kepada PLN. “Padahal berdastkan potensi ini target PLTS dan surya atap dapat tercapai dengan cepat jika di dukung dengan regulasinyang memadai,” jelas Fabby.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum AESI, Andhika Prastawa, memaparkan bahwa solusi listrik surya atap juga menjadi bagian dari upaya mewujudkan konservasi energi di Indonesia. Pengembangan energi listrik surya atap dapat mengurangi penggunaan energi fosil sebagaimana telah dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo di COP 23 Paris pada tahun 2025 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca khususnya CO2 sebesar 29 persen pada tahun 2030.
Dengan demikian, jelas Andhika, perlu adanya dorongan dan regulasin yang memudahkan baik dari pemerintah pusat hingga ke daerah. “Regulasi yang mudah dan tidak berbelit dapat mendorong animo tinggi masyarakat memasang energi surya atap. Saat ini jumlah listrik surya atap yang tersambung dengan jaringan PLN lebih dari dua kali lipat dalm enam bulan terakhir. Tren tersebut dapat dilihat melalui pemasangan listrik surya atap di gedung perkantoran, bangunan komersial serta perumahan yang dikembangkan developer,” katanya.
Dalam kaitannya untuk meningkatkan pengetahuan dan kepedulian (awareness) tentang pembangkit listrik surya atap, AESI juga akan menyelenggarakan pameran peralatan pembangkit surya yang disebut INDOSOLAR Expo & Forum 2018 di JIExpo – Kemayoran, Jakarta, pada 11-13 Juli 2018. Bersamaan dengan pameran ini akan dilaksanakan Seminar dengan tema: “Tantangan dan Peluang Pengembangan Energi Surya Atap (Roof Top PV) Untuk Mencapai 1GWp Pertama Pada Tahun 2020” serta pelatihan instalatur PV Rooftop dengan instruktur dari RENAC Jerman. Seminar diharapkan akan membahas kebijakan dan regulasi untuk mendukung Pemanfaatan Pembangkit Listrik Surya Atap serta menghadirkan pembicara yang telah sukses menerapkannya. (red)