Jakarta, KomITe.ID – Ketika kita Kuliah, Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan/PPKN selalu mengatakan melalui ajarannya bahwa pesyaratan terbentuknya Negara tidak terlepas dari Konvensi Montevidio tahun 1944, yakni dibentuknya negara harus memenuhi persyaratan minimal adanya: rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan dari Negara lain. Empat persyaratan tersebut apabila dikorelasikan dan diimajinasikan dengan wilayah vertikal menjadikan suatu quo vadis bagi Negara Indonesia, “Bagaimana kedaulatan yang sesungguhnya bagi Indonesia di wilayah Dirgantara?”
Rimba Dirgantara: Kedaulatan atau Regim
Secara legal bahwa kedaulatan dirgantara menyentuh pada aspek ruang udara dengan prinsip utama bahwa korelasi legitimasi negara terhadap Negara yang lain harus menyadari akan pengakuan kedaulatan negara di ruang udara secara penuh dan eksklusif dengan indikatornya: pertama, Pengakuan nasionalitas pesawat udara; kedua, Penerbangan berjadwal atau tidak berjadwal harus ada ijin; dan ketiga, Kebebasan terbang di laut lepas dan kerjasama antar negara dalam bidang penerbangan.
Sementara rimba aturan di ruang Angkasa dengan menerapkan prinsip utama tidak berlakunya kedaulatan Negara, dengan alibi indikasinya adalah: pertama, Larangan pemilikan atas ruang angkasa/benda-benda langit; kedua, yang berlaku atas benda-benda ruang angkasa adalah hukum internasional; ketiga, Setiap negara punya hak yang sama dalam menggunakan ruang angkasa; keempat, Setiap negara peluncur mempunyai kewajiban untuk memberitahukan benda-benda ruang angkasanya; kelima, Kebebasan melakukan penyelidikan atau penggunaan ruang angkasa; keenam, Hak berdaulat negara dilindungi dan berlaku prinsip tanggung jawab mutlak.
Dilematis Wilayah Vertikal
Taksonomi ruang Dirgantara yang meliputi ruang udara (air space) dan ruang angkasa (outer space) yang menyangkut aspek geografis juga menyangkut kegiatan manusia di atas permukaan bumi. Fokus aspek geografis dengan Ruang Udara (air space) di atas permukaan bumi atau atmosfir yang masih didapati unsur-unsur gas yang disebut udara, sedangkan ruang Angkasa (Outer Space) merupakan ruang di atas permukaan bumi/atmosfer yang hampa udara dan benda-benda langit.
Pada dasarnya, ruang udara tidak hanya semata-mata dapat dimanfaatkan bagi kegiatan penerbangan. Ruang udara dapat juga dimanfaatkan sebagai jalur-jalur frekuensi radio, yang sifatnya juga melintas batas antar negara. Sehingga diperlukan adanya kerjasama antar negara dalam pemanfaatan ruang udara sebagai jalur frekuensi radio. Namun, pada awal perkembangan aturan hukum di ruang udara masih mempersoalkan pemanfaatan ruang udara bagi kegiatan penerbangan. Dilematis persoalan yang muncul adalah untuk status ruang udara di atas wilayah udara suatu Negara (Dirgantara) dalam kaitannya dengan kegiatan penerbangan, penerbangan melalui ruang udara di atas wilayah suatu negara bebas atau tidak?
Kedaulatan wilayah vertikal masih menjadi polemik dari beberpa pendapat yang masing-masing memiliki dasar pemikiran yang berbeda, sehingga perlu adanya penyamaan persepsi, sebagai contoh bahwa TNI Angkatan Udara menyatakan bahwa untuk kedaulatan RI secara vertikal terkalkulasi dengan jangkuan tertinggi operasional pesawat terbang secara maximum di ruang udara, khususnya pesawat tempur, ada pandangan lain akan kemampuan mengontrol ruang udara melalui Radar dengan jangkauan dan sudut operasional dan ketinggian yang dicapainya Alustsista Radar tersebut. Pandangan lain menyatakan bahwa ketinggian kedaulatan secara vertikal Indonesia sampai dengan outer space dengan menempatkan satelit di slot orbitnya dan dapat mengkontrolnya secara nasional
“Cujus est solum, ejust est usque ad coelum” suatu teori yang berarti, barang siapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah. Di pihak lain muncul teori bahwa udara merupakan “res communis” konsepsi yang beranggapan bahwa laut itu adalah milik masyarakat dunia sehingga tidak dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
Secara Yuridis, Pasal 1 Konvensi Paris 1919: Pihak penutup perjanjian mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan ekslusif (complete and exclusive) terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Konsekuensi, negara peserta konvensi dapat melakukan pembatasan penerbangan pesawat udara negara lain yang bukan peserta konvensi, sebagaimana diatur dalam pasal 5 Konvensi Paris 1919. Tiada satu negara peserta kecuali dengan izin khusus dan sementara sifatnya untuk mengijinkan penerbangan di atas wilayahnya oleh pesawat udara yang tidak memiliki kebangsaan dari suatu negara peserta.
Konsekuensi dari kedaulatan ruang udara: pertama, Melarang lintas pesawat udara asing melalui wilayah ruang udara nasional, kecuali ada ijin dan merupakan suatu pelanggaran bila memasuki wilayah ruang udara suatu negara tanpa ijin lebih dahulu, akibatnya dapat diusir; kedua, Menetapkan jalur-jalur udara yang dapat dilewati oleh pesawat udara asing; ketiga, Menetapkan kawasan udara terlarang; dan keempat, Menjalankan yurisdiksi tertitorial. Sedangkan adanya tindak memata-matai di wilayah ruang udara suatu Negara dengan melakukan pengamatan (observation) atau penyelidikan (surveillance) atau pengintaian (reconnaissance) merupakan tindakan ilegal.
Bagaimana dengan tiga tindakan pengamatan, penyelidikan dan pengintaian dari wilayah dirgantara oleh satelit Negara lain?
Kehadiran Satelit Merah Putih Wujud Nyata Kedaulatan Ruang Angkasa
Substansial pakem hukum Dirgantara bahwa nir kedaulatan di Outer space merupakan politik Negara maju untuk membatasi Negara berkembang, Posisi Indonesia sepanjang equator merupakan posisi paling ideal bagai pengembangan teknologi untuk hadir di wilayah dirgantara. 7 Slot orbit yang diberikan untuk Indonesia menjadi potensi untuk mengembangkan produk teknolgi satelit mendatang. Indonesia dalam hal ini PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) telah membangun Satelit Merah Putih (Telkom-4) sejak 29 Februari 2016 bekerjasama dengan perusahaan Space System Loral (SSL) dan Space X, adapun kapasitas yang dimiliki dengan cakupan Standard C-Band sebanyak 24 transponder @ 36 MHz untuk Asia Tenggara, Standard C-Band 24 transponder @ 36 MHz untuk Asia Selatan, dan Extended C-Band 12 transponder @ 36 MHz untuk Asia Tenggara. Total kapasitas yang diusung sebanyak 60 transponder. Kapasitas yang dimilki dua kali lipat Telkom 1 yang akan digantikan di slot orbit 108º BT.
Imajinasi Kedaulatan di masa mendatang sebagai kontrolnya adalah Negara dalam hal ini kolaborasi antara pemerintah, akademisi dan industri secara bersama bisa mengkontrol kedauatan ruang angkasa. Indonesia semestinya telah aktif dalam pembentukan hukum ruang angkasa didasarkan terutama kepada hukum internasional dan kerjasama internasional.
Pihak Indonesia, Telkom bersama K/L terkait akan mengikuti proses peluncuran, pengendalian dan pemanfaatan secara bisnis dan untuk kepentingan nasional lainnya. Pengendalian selanjutnya akan dilaksanakan oleh Master Control Station Telkom di Cibinong dan Stasiun Pengendalian cadangan di Banjarmasin Indonesia.
Momentum peluncuran satelit Merah Putih dapat menjadi pembangun rasa persatuan dan kebersamaan bangsa Indonesia bertepatan dengan HUT RI ke-73 sebagai kampanye kebangkitan satelit nasional melalui sosialisasi di segala media elektronik dan media cetak nasional. Indonesia secara strategis dapat mempromosikan dan melanjutkan kerjasama secara melekat dengan SSL dan Space X melalui pemberian peluang geografi Indonesia di Pulau Bak sebagai tempat peluncuran paling efektif dan efisien di dunia. Kemenko Polhukam mendorong integrasi kebangkitan satelit nasional melalui kolaborasi pemberdayaan potensi Kemenkominfo, LAPAN, Telkom, Industri satelit & akademisi. *(sigitpriyono1987@gmail.com)