Jakarta, Komite.id- Presiden Jokowi telah mengingatkan bahwa dunia tengah berubah begitu cepat. Perubahan itulah yang harus diantisipasi dengan inovasi. Untuk itu, Presiden Jokowi menitipkan pesan untuk banyak melakukan inovasi agar tidak tergerus oleh perubahan-perubahan tersebut. Karena itu, Dirjen Penguatan Inovasi Kemenristekdikti berharap pentingnya pembahasan Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Ristekdikti tentang Manajemen Inovasi di Perguruan Tinggi dan Rapermen Pengukuran dan Penetapan Tingkat Kesiapan Inovasi, segera disahkan.
“Sekarang masih dalam proses, kemungkinan besar tahun ini juga saya berharap sudah bisa ditandatangani Menteri Ristekdikti Muhammad Nasir supaya dapat direalisasikan pada 2019,” jelas Dirjen Penguatan Inovasi, Kemenristekdikti, Jumain Appe saat membuka uji publik Rapermen Ristekdikti tentang Manajemen Inovasi di Perguruan Tinggi dan Rapermen Pengukuran dan Penetapan Tingkat Kesiapan Inovasi di Bogor, Jabar, Selasa (6/11).
Menurut Jumain, dua permen tentang inovasi tersebut dianggap solusi dalam menciptakan ekosistem yang baik antara perguruan tinggi, pemerintah, dan industri. “Tentunya ini untuk menjawab tantangan Revolusi Industri 4.0. Di mana era digital ini membuat banyak pekerjaan akan hilang, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru yang menbutuhkan skill khusus,” katanya seraya menamabahakn, permen tersebut memiliki banyak peran. Antara lain, sebagai jaringan komunikasi, transfer teknologi, dan menciptakan produk inovatif yang berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia.
Diakui Jumain, sekarang ini masih terjadi gap antara hasil penelitian dan pengembangan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri. Ini disebabkan perguruan tinggi membuat penelitian tidak berdasarkan kebutuhan industri. “Hasil penelitian dan pengembangan perguruan tinggi, seperti paten dan prototipe, banyak yang tak bisa digunakan industri. Ini karena mereka melihat ke dalam lingkungannya sendiri, tidak melihat keluar. Tidak bertanya ke pelaku industri, mereka sebenarnya butuh apa,” ungkap Jumain Appe
Jumain menjelaskan, ke depan harus ada kerja sama di antara keduanya. Nah untuk menciptakan harmonisasi perguruan tinggi dengan industri, peraturan menristekdikti yang sekarang disiapkan ini bisa menjadi acuan. “Rapermen tentang Manajemen Inovasi di perguruan tinggi bisa menjadi pendorongnya,” kata Jumain optimistis.
Disinggung perusahaan swasta yang umumnya mempunyai divisi riset dan pengembangan teknologi tersendiri, dia menilai, tidak semua bidang digarap sendirian oleh perusahaan. Umumnya kalangan usaha mengerjakan di bidang hilir, sementara hulu bisa dikerjakan oleh perguruan tinggi. “Jadi peluang kerja sama akan terus ada. Industri juga butuh inovasi yang berkelanjutan, ini tantangan bagi perguruan tinggi,” katanya.
Sementara itu, Wihatmoko Waskitoaji, Kepala Subdirektorat Pengembangan Sistem dan Jaringan Inovasi, mengatakan, sekarang ini banyak yang salah mengartikan inovasi. Segala penemuan dianggap inovasi. “Padahal tidak semua temuan dianggap inovasi. Sesuai undang-undang, inovasi adalah hasil penelitian yang sudah dimanfaatkan masyarakat atau dikomersialkan,” tutur Wihatmoko.
Permen tentang inovasi ini juga bisa memberikan standardisasi apa itu inovasi. Selama ini perguruan tinggi membuat inovasi sesuai keinginannua masing-masing. “Kami akhirnya kebingungan saat akan mengukur kinerja dari suatu perguruan tinggi. Karena semua kampus menerapkannya berbeda,” katanya.
Ke depan, ungkap dia, berapa banyak inovasi yang dihasilkan suatu perguruan tinggi akan memengaruhi pemeringkatan dari Kemenristekdikti. “Sebelumnya hanya berkontribusi 5% terhadap pemeringkatan. Nanti porsinya ditambah menjadi minimal 10%. Inovasi juga memengaruhi proses akreditasi kampus,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Ophirtus Sumule, Direktur Sistem Inovasi mengatakan, rancangan permen terkait kesiapan inovasi lebih bertujuan agar suatu produk inovasi bisa diterima pasar atau industri. Sebab selama ini banyak juga temuan yang ternyata tak bisa diterima pasar atau industri.
Misalnya, lanjut Ophirtus, ada hasil temuan yang tak bisa diproduksi massal karena harganya yang mahal. Sementara ada yang lain lebih murah sebagai alternatifnya. “Untuk mengukur kesiapan inovasi diterima pasar atau tidak, nantinya ada parameternya. Dengan parameter tersebut, diyakini suatu hasil inovasi perguruan tinggi bakal bisa dimanfaatkan masyarakat,’ tutur Ophirtus. (red)