PP 82/ 2012 Sudah 6 Tahun Bergulir Tanpa PerMen Namun Revisi Begitu Cepatnya

0
3046

Jakrta, Komite – Rapat dengar pendapat Asosiasi beberapa Kementrian/Lembaga dan Ditjen Aptika di Kementrian Sekretariat Negara RI dipimpin langsung oleh Lydia Silvanna Djaman, Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan, Kementrian Sekretariat Negara bahas Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Revisi PP 82/2012 oleh Menteri Kominfo (7/11/2018).

Terulang kembali kisah klasik dari banyak Beleid atau Peraturan Perundang undangan yang dibuat, namun sayang menjadi tidak efektif dan mandul, karena Peraturan penunjangnya, misalnya Peraturan Menteri (Permen) belum dapat di implementasikan, namun anehnya Beleid ini sudah ingin segera di revisi? Mengapa?

Alasannya, klasik bahwa Peraturan yang lama tidak efektif, contohnya PP 82/2012 sehingga perlu segera di revisi, padahal kalau diperhatikan PP 82/2012 yang dibuat 6 tahun yang silam tidak efektif karena Permen nya belum juga dibuat? PP 82/ 2012 masih meninggalkan banyak lubang alias banyak peraturan turunannnya baik dari UU misalnya UU 11/2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik)  ataupun dari PP misalnya PP 82/2012 tentang PSTE berupa Permen terkait.

Jadi adanya rencana perubahan PP 82/2012 pada pasal 17 ayat 1 mengenai Data Center (DC) untuk PSTE pelayanan publik yang diharuskan berada di wilayah RI, karena dianggap tidak efektif dan ditenggarai banyak yang tidak mematuhi pasal 17 ayat 1 ini. Padahal pasal 17 ayat 1 ini sudah terbukti ampuh selama 6 tahun menjaga kepentingan kedaulatan data masyarakat dan ekonomi RI agar tetap berada di wilayah RI. Jika kurang efektif adalah karena Permen Sangsinya belum pernah dibuat selama 6 tahun ini. Hanya wakil dari BKPM yang hadir menyatakan dukungan revisi PP 82/ 2012 ini dengan alasan memberi insentif bagi Investor Asing berinvestasi di RI. Padahal data indikator yang dikumpulkan ABDI dari beberapa sumber Statista dan Ipsos, UK menggambarkan pertumbuhan subur signifikan bisnis DC lokal dan asing di RI antara lain:

Sejak PP 82/2012 diberlakukan 6 tahun yang lalu,  iklim usaha industri DC di Indonesia meningkat pesat lebih dari 20% dari hanya USD 160 juta (2012) menjadi USD 1.14 miliar (2017) dan diperkirakan 1.3 miliar (2018). Jadi data Statista, AS menunjukkan investasi PMA dan PMDN di bisnis clouds meningkat pesat bertolak belakang dengan nada pesimis dari BKPM.

Pasar Bisnis Konstruksi DC menurut Ipsos, UK meningkat pesat 10.64% pertahun dari Rp 1.5 Trilliun (2016) menjadi 1.7 Triliun (2017) dan diperkirakan Rp 2.0 Triliun (2018). Sebaiknya BKPM mereview kebijakan dan data investasi Data Center di Indonesia. Apalagi semestinya BKPM menyadari bahwa bulan lalu AWS (Amazon Web Service) sudah menyatakan akan investasi Rp 14 triliun, juga Alibaba Clouds akan membangun DC di RI, membuktikan bahwa dengan PP 82/2012 yang lama malah lebih banyak investor asing yang masuk. Jadi kenapa harus direvisi ? Siapa yang diuntungkan jika direvisi? Jika direvisi, apakah yang sudah masuk, bukan malah berbondong bondong hengkang (exit) karena diperkenankan menaruh data diluar negeri?

Marsekal Muda TNI Rus Nurhadi, Deputi VII (plt), Kemenko Polhukam juga ikut mendukung aspirasi dari asosiasi yang hadir untuk mempertahankan PP 82/2012 pasal 17 agar tidak direvisi dan Data Center tetap berada di Indonesia. Rus juga mengundang asosiasi dan industri rapat di Kemenko Polhukam untuk membuat position paper, persiapan dengan pendapat ke 2 khusus untuk tataran Kementrian dan Lembaga RI di Ruang Rapat, Setneg (15/11/2018).

Jika dikaji lebih mendalam pandangan asosiasi, maka ketidak efektifan dan mandul Pasal 17 dari PP 82/2012 yang lama bahwa DC harus di Indonesia karena:

  1. Pasal 17 ayat 2 yang lama sudah sangat kondusif,  namun ketentuan lebih lanjut dari pasal 17 ayat 1 oleh Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor (IPPS) terkait kewajiban penempatan DC di NKRI yang berkoordinasi dengan Menteri saja yang kurang diperhatikan selama lebih dari 6 tahun. Mengapa malah sudah dikatakan tidak efektif dan mandul dan harus di revisi, padahal tidak efektif karena koordinasi dengan sektor kurang intensif mendukung PP 82/2012 yang lama ini. Kenapa selama 6 tahun ini tidak dilakukan? Sekarang malah menjadi alasan agar PP 82/2012 harus direvisi dengan peranan sama IPPS diangkat kembali, padahal sejak 6 tahun yang lalu sudah diatur peranan IPPS. Jadi sepertinya alasan revisi PP 82/2012 ini salah sasaran dan sebaiknya tidak perlu di revisi, namun diperbaiki peranan IPPS dan koordinasinya dengan Menteri.
  2. Pasal 84 yang lama tentang Sanksi Administratif dan Peraturan Menteri (Permen) nya pada pasal 85 yang mengatur Sanksi Administratif hingga hari ini juga tidak dibuat.  Jika masalah Permen pada pasal 85 untuk PP 82/2012 yang lama saja belum tuntas, mengapa sudah mau bikin Revisi PP 82/2012 yang masih Pasal Administratif nya dan Permen nya masih menggantung? Apakah Revisi PP 82/2012nantinya tidak mengulangi masalah dan kesalahan yang sama di dikemudian hari?

Jadi saran ABDI adalah lengkapi saja dulu semua Permen pada PP 82/2012, agar PP 82/2012 bisa lebih efektif dan tidak mandul. Jika dirasa perlu dikemudian hari baru dilakukan revisi PP 82/2012 ini. Jadi tidak perlu terburu buru, namun semestinya lebih berhati hati dan prudent. Sepertinya lebih cepat dan efektif membuat Permen Kominfo dari pada membuat revisi PP.

Pada pertemuan di Setneg ini juga hadir wakil dari Lembaga Pemerintah antara lain Syahrul Mubarak, Sekretaris Utama, BSSN (BadanSiber & Sandi Negara); Marsekal Muda TNI Rus Nurhadi, Deputi 7, Kemenko Polhukam; Mira Thayyiba, Direktur Kementerian Koordinator Bidan Perekonomian; Wakil dari BKPM. Delegasi Kominfo dipimpin oleh Semuel A Pangerapan,Dirjen Aptika; Mariam Barata, SesDirjen Aptika; dan jajarannya.  Asosiasi yang hadir Alex Budiyanto, Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI); Teddy S, Indonesia Data Centre Provider (IdPro); Benyamin P Naibaho, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Rudi Rusdiah, Asosiasi Big Data & AI (ABDI); Kristiono Ketua Umum Masyarakat Telematika (Mastel).

Pandangan kompak Asosiasi yang hadir menolak revisi PP 82/ 2012 pasal 17 ayat 1 tentang DataCenter untuk Keperluan Public Harus berada di wilayah NKRI dan ayat 2 tentang tugas dan peran IPPS terkait. Asosiasi menganggap PP 82/2012 telah sukses selama 6 tahun ini menjaga kedaulatan negara dan membuat bisnis data center dan clouds tumbuh cepat dan tinggi.

Semoga aspirasi asosiasi dan komunitas dapat didengar. Dengan dilengkapinya semua Peraturan Menteri penunjang pasal 17 dan pasal 85, maka Indonesia akan  memiliki peraturan dan perundang undangan yang handal terkait keberadaan Data Center di tanah air.  Sehingga kedaulatan data; bisnis data center, clouds, IoT, Data analytics dan AI dapat dijalankan. Semoga Data dapat menjadi the Next oil or Energy of Indonesia. **