Dari 2.615 Laporan Penipuan Online, Hanya 1% Layanan Transportasi

0
1789

Jakarta, Komite.id – Seperti disampaikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dari 2.615 laporan mengenai penipuan online, kurang dari 1 % berasal dari layanan berbagi tumpangan (ride hailing). Meski jumlah laporannya sedikit bukan berarti kasus penipuan pada layanan transportasi berbasis online ini juga sedikit.

Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kementerian Kominfo Teguh Arifiyadi mengatakan banyak temuan di lapangan terkait kecurangan yang dilakukan dalam layanan transportasi online. Hasil temuannya, sekitar tujuh dari sembilan mitra pengemudi ojek online pernah menggunakan GPS palsu.

Menurut Teguh, sedikitnya laporan yang masuk bukan karena aktivitas penipuan yang sedikit, melainkan karena nominal kerugian yang kecil membuat masyarakat enggan melapor. “Kebiasaan orang Indonesia gampang memaafkan, inilah penyebab fraud (kecurangan) dianggap rendah. Tapi kalau kerugiannya di atas Rp 500 ribu baru melapor,” ujar Teguh kepada awak media di Jakarta.

Sebenarnya, penipuan online di Indonesia cukup besar. Berdasarkan laporan CybersourseSEA Fraud Benchmark tahun 2018, rata-rata pendapatan e-commerce di Asia Tenggara berkurang akibat tindak kecurangan (fraud) yang mencapai 1,6%. Sementara Indonesia, menempati posisi pertama dalam kerugian tindak penipuan online sebesar 3,2 % dibandingkan negara lainnya di kawasan tersebut.

Tingkat fraud di bidang layanan berbagi tumpangan (ride hailing) juga cukup marak di Indonesia. Berdasarkan survei Insitute for Development of Economics and Finance (Indef), 61% mitra pengemudi mengetahui rekannya melakukan kecurangan. Di sisi lain 81,4% pengemudi taksi dan ojek online mengaku pernah menjadi korban order fiktif. Survei ini dilakukan terhadap 516 mitra pengemudi taksi dan ojek online pada 2018.

Lebih lanjut Teguh mengatakan, secara umum dari sisi regulasi sebenarnya sudah banyak aturan yang mewajibkan penyelenggara sistem untuk memastikan sistemnya aman dan bertanggung jawab. Dalam layanan aplikasi transportasi misalnya, tindak kecurangan tentang manipulasi fake GPS dan akun palsu sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Informasi Transaksi Elektronik (ITE).

Hanya, tinggal bagaimana aparat hukum memproses pelaku fraud  tersebut. Teguh melanjutkan, untuk mekanisme hukum dapat diselesaikan melalui jalur pemerintah ataupun platform itu sendiri. Pihaknya telah melakukan beberapa percobaan dan menganggap pihak penyelenggara platform sudah cukup tanggap terhadap respon.

“Kebanyakan (kasus) selesai. Tapi ada juga beberapa pengaduan yang belum selesai, begitu viral baru ada tindakan dari platform-platform tersebut,” ujar Teguh.

Lebih lanjut Teguh menjelaskan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Data Pribadi masih dalam tahap pembahasan. Ia berharap data pribadi nantinya tidak hanya melindungi data tertulis, tetapi juga data tidak tertulis (paperless electronic), termasuk mengenai fraud di dalamnya. (*/WS)