Jakarta, Komite.id- Moka, startup penyedia layanan kasir digital, kembali menghadirkan wadah edukasi A Cup of Moka (ACOM), Dalam kegiatan kali ini, dibeberkan data dan wawasan terkini mengenai bisnis di bulan Ramadan di tengah pandemik COVID-19.
Paparan data yang dilakukan dalam diskusi interaktif tersebut, memberikan tiga gambaran utama untuk bisnis, yaitu; tradisi belanja industri F&B, ritel dan jasa di bulan Ramadan; antisipasi & strategi brand di tengah krisis COVID-19; dan perubahan perilaku konsumen akibat COVID-19.
Hutami Nadya selaku Data Analyst Moka menjelaskan, selama pandemik COVID-19, penurunan pendapatan harian di berbagai industri bisnis tidak dapat dihindari. Tercatat pada industri F&B, pendapatan harian bisnis turun hingga lebih dari 40%, bahkan 1 dari 3 bisnis F&B di Indonesia menunjukkan penurunan signifikan saat COVID-19. Dibalik itu, data Moka menunjukkan penggunaan jasa layanan antar meningkat hingga 30%.
Jika melihat dari tren konsumsi di bulan Ramadan sebelum krisis pandemik COVID-19 ini, terjadi peningkatan sebanyak 67% dari jumlah gerai F&B yang beroperasi di antara jam 2-4 pagi. Dalam jangka waktu ini, konsumen cenderung memilih makanan praktis untuk sahur dan membeli untuk hidangan grup hingga 5 produk per transaksi.
Pada industri ritel fesyen, terjadi peningkatan jumlah pendapatan hingga 50%, di mana tiga item terpopuler yang terjual selama Ramadan adalah tunik, hijab dan gamis yang berangsur-angsur menurun kembali setelah Ramadan usai. Berbeda dengan industri ritel, jasa kecantikan justru meningkat pendapatannya hingga 54% satu bulan setelah Ramadan.
Lebih lanjut diungkapkan, salah satu strategi yang dapat difokuskan adalah pembelanjaan online. “Untuk memaksimalkan pembelanjaan dengan jasa antar, baik untuk F&B ataupun ritel dan service, pelaku usaha dapat berinovasi dengan membuat menu khusus delivery yang dapat dimasak dan diolah sendiri oleh para konsumen sehingga dapat dimanfaatkan di waktu khusus seperti sahur dan buka bersama anggota keluarga di rumah. Begitu juga dengan ritel dan jasa, pelaku usaha dapat membuat paket khusus untuk mendorong konsumen membeli secara online dan mengubah jasa menjadi suatu produk yang bisa digunakan oleh konsumen di rumah,” ujarnya.di Jakarta, Rabu (15/4).
Ditambahkan, para pelaku usaha dapat memperhatikan tren yang kini sedang berlaku di masyarakat, misalnya kegiatan masak di rumah. Bisnis F&B dapat shifting untuk menyediakan bahan baku makanan siap masak dengan opsi jasa pengantaran untuk mendukung social distancing.
Selain itu, momen Ramadan adalah momen yang tepat untuk berbagi bersama yang lebih membutuhkan, kita bisa mulai dengan menambahkan opsi menu untuk didonasikan ke yang membutuhkan. “Untuk mendapatkan cashflow positif, merchant juga bisa memberlakukan skema pay-it-forward untuk pelanggan,” papar Nadya.
Pay-it-forward merupakan skema di mana pelanggan dapat membeli terlebih dahulu paket produk atau jasa dari suatu bisnis yang manfaatnya bisa dirasakan hingga beberapa waktu ke depan. Biasanya, pelaku usaha dapat mengaplikasikan potongan harga dengan bentuk berupa kupon untuk para pelanggan.
Skema ini diharapkan dapat membantu pelaku usaha untuk mendapatkan cashflow positif untuk membiayai rental tempat, gaji karyawan, cicilan modal usaha, asuransi, stok bahan baku, dana perbaikan dan pengeluaran lainnya.
Di kesempatan yang sama, Farid Fatahillah, Associate Consultant Iventure menyatakan, bahwa krisis wabah COVID-19 ini telah mengubah perilaku konsumen dan menciptakan kenormalan baru yang disebut “Stay at Home Economy”, yaitu ekonomi yang digerakkan oleh pelaku ekonomi yang tinggal di rumah.
Inilah ekonomi yang sebagian sudah kita jalani sekarang dan dalam beberapa minggu ke depan kita akan dipaksa menjalaninya secara penuh begitu wabah terus berkepanjangan. “Bagi brand builder, bencana COVID-19 bukanlah semata great disaster tapi great correcter. Bencana kemanusiaan seperti COVID-19, kerusakan lingkungan, dan beragam persoalan sosial kian merajalela. Karena itu brand tak bisa cuci tangan. Brand harus peduli dan menjadi solusi. Setiap brand harus menjadi brand yang empatik. Ini adalah keharusan dan kenormalan baru,” jelasnya. (red)