Jakarta, Itech- Menginjak usia 75 tahun kemerdekaan, telah banyak pencapaian yang diraih Bangsa Indonesia, termasuk dari sisi teknologi informasi dan telekomunikasi. Meskipun jaringan internet semakin merata, namun beberapa wilayah masih kesulitan bahkan belum bisa mengakses Internet. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melalui Program Desa Internet Mandiri mencoba memangkas kesenjangan itu agar Indonesia merdeka internet.
Jamalul Izza, Ketua Umum APJII mengungkapkan Indonesia memiliki sekitar 74 ribu desa, namun masih banyak desa yang tidak bisa menikmati jaringan internet seperti daerah-daerah lainnya. Hal itu salah satunya karena letak geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau. “Cukup banyak daerah-daerah yang tidak tercover oleh internet, karena letak geografis daerah kita itu cukup menantang mulai dari pegunungan, kepulauan dan lain-lain. Beda dengan negara tetangga kita yang daratan semua, itu akan lebih mudah. Jadi tantangan untuk wilayah Indonesia cukup berat,” terang Jamalul Izza.
Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo ada program pemberdayaan perekonomian dan sumber daya masyarakat desa di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Namun menurut Jamalul, ada beberapa daerah yang kondisinya sama bahkan lebih parah dari daerah 3T. Untuk itu, APJII bekerjasama dengan perusahaan penyedia jaringan melaksanakan program pembangunan untuk daerah-daerah yang tidak tercover oleh fiber optik.
APJII juga mengagas Program Desa Internet Mandiri untuk desa-desa yang belum terkoneksi internet. Dalam melaksanakan program ini APJII menggandeng badan usaha desa, BUMDes yang bisa mengelola 20-30% dari dana desa. Sejak diluncurkan pada Agustus 2019, program ini disambut dengan sangat antusias baik oleh anggota maupun desa-desa yang menjadi target.
Program ini penting untuk membantu membangun akses internet yang andal dan terjangkau di desa-desa terpencil, dengan melibatkan warga desa dan Bumdes. Para ISP anggota APJII akan berkolaborasi dengan Bumdes membentuk perusahaan patungan yang menjalankan bisnis internet. Selain membantu menyediakan akses internet, program Desa Internet Mandiri juga akan membantu anggota mengembangkan bisnisnya.
Di era pemerintahan Presiden Jokowi, setiap desa bisa mendapatkan dana desa yang besarannya berbeda-beda antara Rp 1,5 miliar hingga Rp 3 miliar per tahun. Selain menerima dana desa dari pemerintah pusat, mereka juga dapat dana APBD dari pemerintah daerah. “Nah, kita mengajak pemerintah desa untuk berbisnis unit internet. Setiap desa memberkan investasi tetapi pelaku bisnisnya tetap APJII karena yang punya izin. Setiap datang ke desa, kita selalu bicara kita tidak memberikan gratis sebab tidak mendidik orang untuk menjadi lebih mandiri. Siapa yang akan bertanggung jawab kalau kita kasih gratis. Kalau mereka berinvestasi, mereka akan bertanggung jawab,” terangnya.
APJII membangun dari desa terlebih dahulu karena selama ini kita selalu bicara smart city, Internet of Things (IoT) dan lain-lain. “Tapi kalau dari pinggir saja belum kita bangun susah untuk membentuk sebuah sistem seperti smart city yang bagus. Provinsi membuat smart city siapa yang mau pakai kalau daerah-daerahnya tidak ada koneksi internet,” lanjutnya.
Jamal menerangkan bahwa smart city memang fokus di perkotaan, tapi datanya yang diperlukan dari desa-desa. “Jika dari desa ke kota membutuhkan perjalanan 8 jam, siapa yang mau ngantar data? Karena itu mereka butuh koneksi internet. Lebih baik kita bicarakan bagaimana membangun infrastruktur di desa-desa dulu,” terangnya.
Setelah membangun infrastruktur dan internet menyala, lanjutnya, hal yang paling berat adalah bagaimana masyarakat bisa menggunakan internet secara murah dan stabil. Setelah itu masuklah pemain Over The Top (OTT) asing. OTT adalah perusahaan asing yang berorientasi pada layanan konten berupa data, informasi, multimedia melalui jaringan internet, seperti Google, Facebook, dan Twitter. Saat ini, masyarakat mulai mengenai sosial media, messenger dan sebagainya, ini yang harus diedukasi.
Setelah membangun infrastruktur dan konten masuk ke pedesaan. Menurut Jamal, aplikasi mobile ini seharusnya membayar pajak karena mereka dapat hasil dari itu semua. Indonesia harus memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan pajak dari pemain OTT besar tersebut, karena perusahaan tersebut menjalankan bisnis dan mendapat keuntungan di Indonesia. “Kita harap pajak tersebut, kalau itu berhasil, dikembalikan lagi buat industri internet. Kalau mereka dapat dari internet, bagaimana digunakan untuk membangun infrastruktur internet. Kalau awalnya kita bangun desa memakai teknologi VSAT, mungkin kedepan nantinya dengan adanya pajak kita bisa pakai micro-f, radio dan lain-lain,” terangnya.
Jamal mengungkapkan, sebenarnya pemerintah daerah sangat semangat untuk membangun desanya. Ia mengisahkan bagaimana masuk ke sebuah desa yang tidak ada sinyal di wilayah Aceh Tengah. Jika terjadi sesuatu di desa, warganya berkomunikasi menggunakan radio HT dan terkadang harus turun ke bawah. Karena tidak ada listrik, Bupati atau kepala daerah langsung memasukkan jaringan listrik untuk mendukung program desa mandiri internet.
Jamal juga mengisahkan bagaimana saat ada ujian online, anak sekolah di desa-desa yang tidak memiliki jaringan internet akan turun gunung ke daerah kabupaten ke daerah kabupaten yang ada sinyal bahkan sampai menginap tiga hari. “Kalau yang punya uang mereka menyewa rumah, tapi ada yang sampai bangun tenda. Di situ menjadi semangat saya agar Program Desa Mandiri Internet harus jalan,” tuturnya.
Disebutkan, masyarakat kita biasanya bangun rumah dulu baru bingung cari jalan. Menurutnya, infrastrukturnya harus terlebih dulu disiapkan, baru programnya masuk. Kuliah online atau work from home (WFH) misalnya, tidak akan bisa terlaksana kalau tidak ada internet. Ujung-ujungnya, mereka mencari titik internet.
Pada tahun 2020, APJII menargetkan 20.000 desa di Indonesia yang terlibat program Desa Internet Mandiri. “Kalau program ini kita gerakkan bersama-sama, saya yakin seluruh daerah di Indonesia pasti tercover dengan internet. Target kita suatu saat 2-3 tahun ke depan semua desa bisa terkoneksi internet. Sehingga kita belum bisa mengatakan bahwa Indonesia merdeka Internet,” katanya optimis.
Dampak kehadiran internet sudah dirasakan oleh salah satu desa Di papua yang pendapatan internetnya mencapai Rp 50 juta dari hasil menjual internet ke warganya. Bahkan desa tersebut sedang memikirkan membuat aplikasi untuk menjual hasil bumi mereka. Keberadaan internet membuat mereka kreatif. Perlu diketahui, di Jayapura sendiri terdapat lebih dari 130-an kampung. Belum lagi di kota-kota di Papua lainnya. Dengan demikian, diproyeksikan akan ada penambahan pemerataan akses internet di wilayah Papua. “APJII berharap, program ini bisa membawa internet masuk desa sehingga terjadi pemerataan akses,” jelas Jamal.
Karena itu, Jamal mengapresiasi program dana desa yang membuat pembangunan desa itu bisa lebih hidup. Ini kesempatan yang harus diambil dari setiap desa untuk mengembangkan dan membangun potensi yang dimilikinya. “Jika infrastrukturnya sudah merata, kita jalankan konten apa saja gampang, kita mau lari kenceng bisa. Sekarang ekonomi digital sudah jalan. Ekonomi digital membutuhkan koneksi internet yang bagus dan stabil. UMKM juga bisa mulai dari ekonomi digital,” tuturnya.
Daerah-daerah banyak memiliki potensi yang bisa dibangun menjadi ekonomi digital seperti hasil alam, wisata, kelautan, dan lain-lain. “Bagaimana masyarakat di pedalaman bisa menikmati ekonomi digital tersebut, harapan kita kalau infrastruktur sudah merata itu sudah cukup bagus,” terangnya.
Tak hanya itu, APJII memahami penetrasi internet yang semakin massif harus diimbangi pula dengan pemahaman tentang literasi digital. Literasi digital begitu penting lantaran maraknya hoaks yang beredar luas di internet. Di sisi lain, manfaat literasi digital juga penting sebagai bentuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor teknologi.
Selain infrastruktur internet, Jamal juga menekankan pentingnya perlindungan data. Dalam kesempatan berbicara di Komisi I DPR RI, Ia meminta agar pemerintah Indonesia menjaga kedaulatan data. “Kita minta data pribadi orang Indonesia ada di Indonesia. Dengan ada di Indonesia, kita tahu bagaimana kita mau melindungi data. Kalau data ada di Indonesia akan mempermudah pemerintah bila suatu saat memerlukan data tersebut. Kalau dari sisi data kita belum berdaulat karena data kita ada dimana-mana,” pungkasnya. (red)