OJK Ungkap Financial Gap di Indonesia Hingga US$ 165 miliar

0
1694

Jakarta, Komite.id- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan adanya kesenjangan finansial (financial gap) yang terjadi di Indonesia sebesar US$ 165 miliar, karena belum mampu tersentuh dukungan pembiayaan dari perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. Besarnya nilai potensi financial gap itu mendorong pertumbuhan yang pesat untuk inovasi digital yang terbukti dengan makin banyaknya kehadiran fintech di negeri ini.

Hal itu diungkapkan Dino Milano Siregar, Direktur Grup Inovasi Keuangan Digital OJK, dalam diskusi bertajuk “Strategi Finansial Services di Era Digital: Optimalisasi Inisiatif Omni-Channel untuk Growth dan Revenue Melalui Platform Digital KYC” yang diselenggarakan secara virtual oleh Telkomtelstra.

“Potensi di Indonesia memang luar biasa, dengan peringkat 16 ekonomi terbesar secara global, dan ada kurang lebih 175 juta pengguna internet saat ini. Kemudian, ada financial gap sebesar US$ 165 miliar yang memang perlu kita sentuh, supaya ini bisa masuk menjadi suatu benefit buat negara kita,” ujarnya.

Besarnya financial gap, menurut Dino, juga dapat terlihat dari banyaknya usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang belum tersentuh dukungan dari lembaga keuangan dan perbankan. “Ada 70% UMKM di negeri ini yang belum tersentuh lembaga keuangan, apalagi digital keuangan. Padahal kurangnya akses kredit dinilai menjadi salah satu kendala utama dalam pertumbuhan UMKM,” jelasnya.

Karena itu, lanjut dia, tidak heran kehadiran fintech berkembang sangat pesat. “Fintech bisa menjadi solusi untuk mengisi kesenjangan pembiayaan, karena lebih hemat biaya dan saluran yang efisien untuk menjangkau jarak jauh komunitas yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan tradisional,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi pertumbuhan yang pesat dari fintech, OJK menerapkan smart regulatory approach untuk inovasi fintech. Hal itu dilakukan sebagai jembatan terkait upaya OJK mengatur fintech. “Fintech kalau diatur secara ketat, dia akan sangat terbatas, kalau tidak diatur maka dia akan berkembang secara liar. Kami mengatur secara pelan, tapi kemudian berharap seiring dengan bertumbuhnya itu maka keamanan bertransaksi dengan pengembangan pelayanannya juga bisa berkembang semakin baik,” jelasnya.

Agus F. Abdillah, Chief Customer Officer Telkomtelstra, menilai pertumbuhan pesat inovasi digital di sektor finansial memang dipengaruhi oleh revolusi industry 4.0. Transformasi digital membuat layanan pelanggan menjadi lebih baik, lebih cepat, dan lebih murah. “Dan menariknya, yang paling banyak mengadopsi teknologi digital ini adalah perbankan dan keuangan digital. Mengapa? Karena saat ini banyak sekali startup baru di bidang keuangan atau diberi nama fintech telah masuk ke teknologi digital,” paparnya.

Agus mengutip survei PWC tahun 2018 terhadap 52 pimpinan perusahaan perbankan di Indonesia dimana 72% dari responden menyatakan bahwa startup fintech menjadi tantangan tersendiri bagi perbankan dan lembaga keuangan konvensional. “Dengan jumlah basis pelanggan yang besar, startup fintech bisa masuk sangat cepat dengan industri keuangan untuk transaksi pembayaran. Sebagai startup yang lahirnya dari teknologi digital, fintech bisa dengan sangat cepat memiliki kemampuan membangun super apps yang dilengkapi dengan data analytic, machine learning, dan teknologi lainnya,” paparnya.

Telkomtelstra saat ini bekerjasama dengan Oracle untuk penyediaan solusi digital e-KYC (know your costumer), seperti memverifikasi nasabah dalam pembukaan rekening secara online untuk salah satu pelanggannya di Bank Syariah. Bank Syariah tersebut saat ini telah berhasil melakukan 200 ribu pembukaan rekening melalui online sepanjang tahun 2020 yang tentunya sangat mendukung operasional dari layanan keuangan secara remote di masa pandemi.

Sementara itu, Dora Sunarli, Sales Director PT Oracle Indonesia, menjelaskan pertumbuhan pesat inovasi digital di sektor keuangan dan perbankan telah mendorong perkembangan inovasi E-KYC dari jenis tatap muka ke arah digital. Metode KYC tatap muka sebelumnya membutuhkan kehadiran secara fisik, proses verifikasi yang lebih lama dan biaya investasi yang lebih besar. (red)