Jakarta, Komite.id-Risiko keamanan siber menjadi perhatian banyak pihak. Sejumlah pihak, termasuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melakukan berbagai cara untuk mengamankan ruang siber. Pusat Operasi Keamanan Siber Nasional BSSN, mencatat jumlah serangan siber yang terjadi di Indonesia antara Januari hingga Juli 2021 sebanyak 741.441.648 kali.
Jumlah serangan itu mengalami peningkatan hampir dua kali lipat dibandingkan seluruh anomali trafik yang dideteksi oleh lembaga siber tersebut selama tahun lalu yang mencapai kurang lebih 495 juta kali. Serangan tertinggi tercatat pada bulan Mei 2021 dengan jumlah 186.202.637 kali, lalu berangsur turun di dua bulan berikutnya dari 164,45 juta hingga 120,27 juta kali.
“Tingginya tingkat pemanfaatan TIK berbanding lurus dengan risiko dan ancaman keamanan. Ini yang menjadi perhatian kita untuk mengamankan ruang siber kita,” ujar Kepala BSSN Letjen (purn) Hinsa Siburian dalam webinar “Indonesia’s Digital Transformation and Cybersecurity in the Construction Sectors” yang diselenggarakan pada hari Selasa 24 Agustus 2021. Acara ini melibatkan Autodesk, Kedutaan Besar Amerika Serikat, Kementerian PUPR, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Kementerian Kominfo.
Menurut Hinsa, ada tiga kategori serangan siber atau anomali trafik yang terbanyak dideteksi di Indonesia, antara lain berupa perangkat lunak jahat (malware), Denial of Service (DoS)—mengganggu aplikasi berbasis web dengan banjir permintaan palsu ke server, biasanya memakai botnet–, dan ketiga aktivitas trojan (sebuah perangkat lunak palsu yang menyaru sebagai alat yang sah).
Sementara, Trends serangan siber yang tercatat (di Indonesia) berupa serangan ransomware (malware yang meminta tebusan) dan insiden kebocoran data. Sayangnya, ia tak membeberkan sejauh mana tren serangan ransomware tersebut terjadi di Indonesia. Ia hanya menjelaskan bahwa sektor pemerintah (45,5 persen) paling banyak menjadi target malware pencuri informasi, lalu diikuti sektor keuangan (21,8 persen), telekomunikasi (10,4 persen), penegakan hukum dan transportasi (10,1 persen), dan BUMN lain sebanyak 2,1 persen.
Lebih lanjut Letjen Hinsa juga mengatakan, bahwa saat ini berkat kemajuan TIK antarsektor pemerintah sudah saling terhubung sehingga jika salah satu sektor diganggu juga bisa berimbas ke sektor lain. “Inilah yang menjadi perhatian kami jangan sampai terjadi serangan yang akan menyebabkan kelumpuhan di berbagai sektor industri,” ujar Hinsa. (red)