“Nah ini yang kami duga telah terjadi pelanggaran, dari sebuah kontrak sehingga negara yang dirugikan karena negara harus membayar, padahal yang bertanggung jawab ialah yang membuat kontrak tersebut,”
JAKARTA, Komite.id – Di era tahun 1970-an, tepatnya pada 9 Juli 1976 Indonesia pertama kali meluncuran satelit telekomunikasi geostasioner yang dikenal dengan sebutan Palapa A1 dari Kennedy Space Center, Tanjung Caneveral, Amerika Serikat, sebagai bukti perkembangan teknologi luar biasa yang dilakukan Indonesia. Pada masa itu, Indonesia menjadi negara ASIA pertama dan negara ketiga di dunia yang mengendalikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) menggunakan Satelit GEO sesudah Kanada dan Amerika Serikat.
Pemberian nama satelit Palapa A1 dikenal sebagai proyek rintisan pemerintah Indonesia untuk menguatkan peta dunia komunikasi. Kala itu, pemerintah beranggapan bahwa pentingnya melakukan sebaran komunikasi guna untuk melihat wilayah Indonesia terbagi menjadi beberapa pulau. Menyambut space race 4.0, masyarakat dunia bereuforia melakukan misi penjelajahan Mars guna membangun peradaban baru, berbeda dengan Nusantara yang menelan pil pahit dalam menggapai antariksa.
Seperti yang diketahui, belum lama ini tengah terjadi dugaan kasus pengelolaan slot Orbit 123 Bujur Timur (BT). Kasus ini dinilai sebagai pelanggaran hukum dari sebuah kontrak penyediaan satelit yang dilakukan Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan sejumlah perusahaan operator satelit. Pada konferensi pers Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, menerangkan bahwa “Pemerintah Indonesia wajib membayar lebih dari Rp 500 miliar sebagai imbas rangkaian kekalahan arbitrase internasional,” ungkap Menko Polhukam, Mahfud MD.
Dalam hal ini, Kejaksaan Agung menemukan dugaan tersebut sebagai perbuatan melanggar hukum. Namun, dari kasus ini nyatanya belum ditetapkan siapa pihak yang tersangka melainkan kasus ini disusupi melibatkan sejumlah anggota TNI. Berkaitan dengan hal tersebut, Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa menegaskan akan mendukung proses hukum tersebut. Kini, pihaknya tengah menunggu nama anggota TNI yang diduga terlibat dalam kasus ini.
Dalam jumpa pers, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Febrie Adriansyah, menjelaskan pihaknya sudah menyelidiki kasus tersebut selama seminggu terakhir juga telah memeriksa sebelas saksi dari pihak swasta dan Kementerian Pertahanan. “Kami menemukan perbuatan melawan hukum, dimana proyek ini tidak direncanakan dengan baik, dimana pada saat kontrak dilakukan proyek pun belum dianggarakan di DIPA Kemenhan 2015,” jelas Febrie, dalam jumpa pers (14/01).
Awal kasus terjadi pada 19 Januari 2015. Dimana satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur yang mana menjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berlandaskan dengan peraturan International Telecommunication Union (ITU) negara yang telah mendapatkan hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi Kembali Slot Orbit. Namun, jika hal tersebut tidak terpenuhi maka hak pengelolaan akan gugur secara langsung dan dapat digunakan oleh negara lain.
Sehingga, pada saat itu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) supaya dapat mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 tersebut.
Kemudian, Kemhan pun membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang mana sebagai floater (satelit sementara pengisi orbit) milik Avanti Communication Limited (Avanti) di 6 Desember 2015. Walau sebenarnya persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo baru diterbitkan pada 29 Januari 2016. Namun akhirnya pada 25 Juni 2018 Kemhan mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT ke Kominfo.
Saat melakukan kontrak bersama Avanti di 2015, nyatanya Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Terlebih, Kemhan juga telah menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Telesat dan Hogan Lovel dalam kurun waktu 2015-2016 dimana anggaran tersebut di 2015 belum tersedia. Sementara di 2016, anggaran telah tersedia tetapi Kemhan melakukan self blocking. Sehingga menyebabkan Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration, sebab Kemhan tidak menunaikan sewa satelit berdasarkan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
Permasalahan berlanjut, di tanggal 9 Juli 2019 pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara Indonesia harus mengeluarkan pembayaran sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar. Pihak Navayo juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance, yang mana tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017.
Karena itu, Navayo pun mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemhan, akan tetapi Pemerintah Indonesia menolak untuk membayar dan menyebabkan Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.
“Nah ini yang kami duga telah terjadi pelanggaran, dari sebuah kontrak sehingga negara yang dirugikan karena negara harus membayar, padahal yang bertanggung jawab ialah yang membuat kontrak tersebut. Selain itu belum ada kewenangan dari negara di dalam APBN harus melakukan itu,” tutur Menko Polhukam. (red)