“Jika ke-empat strategi ini kita kombinasikan untuk mengatasi ancaman global dan lokal dalam bidang keamanan siber, diharapkan kita akan memiliki satu kerangka kerja integratif untuk menanggulangi masalah-masalah yang muncul dari disrupsi informasi di ruang digital kita,”
Jakarta, Komite.id – Masifnya perkembangan teknologi saat ini tentu menjadi salah satu penyebab terjadinya disrupsi informasi. Dengan hadirnya banyak informasi yang bertebaran di dunia siber, tentu membuat masyarakat perlu mengantisipasi dan memeriksa kembali terhadap informasi yang diterima. Dalam hal ini, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Andi Widjajanto, M.Sc., menjelaskan 4 strategi untuk menghadapi disrupsi informasi di media sosial.
Menjadi salah satu Ministerial Keynote Speaker di Websummit DataGovAi 2022 hari ke-1, Selasa (22/11) Gubernur Andi membahas “Tantangan di Era Disrupsi Informasi” dengan menjabarkan 4 strategi yang perlu dilakukan untuk atasi ancaman keamanan siber di antaranya, melakukan pencegahan, pengawasan deteksi asesmen ancaman, membangun daya tahan keamanan siber dan mitigasi dampak.
“Jika ke-empat strategi ini kita kombinasikan untuk mengatasi ancaman global dan lokal dalam bidang keamanan siber, diharapkan kita akan memiliki satu kerangka kerja integratif untuk menanggulangi masalah-masalah yang muncul dari disrupsi informasi di ruang digital kita,” ucap Andi Widjajanto, saat menjadi Keynote Speaker di Websummit DataGovAI 2022, Selasa (22/11/22).
Pada dasarnya, Indonesia memiliki lanskap ancaman siber beragam yang terbagi dalam tiga jenis yaitu penyerang, metode dan sasaran. Misinformasi menjadi salah satu metode penyerangan terhadap ruang siber. Tren digitalisasi dalam berbagai aktivitas manusia membuat ketergantungan terhadap ruang siber yang terus meningkat. Sehingga, kondisi ini menciptakan kerawanan spesifik yang harus diantisipasi para pihak.
Hadirnya teknologi telah menjadi faktor pemicu disrupsi pada era masa kini, termasuk dalam proses politik yang berlangsung. Terlebih, platform online termasuk media sosial berpotensi menjadi kanal yang mempromosikan disinformasi dan memanipulasi opini publik. Sehingga, situasi tersebut dapat memicu keretakan di masyarakat yang berujung pada ancaman terhadap demokrasi.
Dirinya menekankan bahwa satu-satunya cara untuk mempersiapkan diri di era disrupsi informasi ini adalah dengan meningkatkan kapasitas digital. Jika dibandingkan dengan negara-negara global, Indonesia belum memiliki kapasitas digital yang memadai. Berdasarkan Network Readiness Indeks (NRI), Indonesia dinilai masih belum sepenuhnya siap mengeksploitasi kesempatan yang ditawarkan TIK. Dimana Indonesia menduduki peringkat ke-66 dari 130 negara dengan skor 50,37 yang berada di bawah rerata global 52,22.
Sementara, data menurut National Cyber Security Indeks (NCSI) kapasitas keamanan siber Indonesia berada di kategori kurang baik. Indonesia memiliki skor NCSI di bawah rerata global. Terkait hal tersebut, terdapat 8 kapasitas yang harus ditingkatkan, di antaranya, kebijakan, ancaman, pendidikan, kontribusi global, layanan digital, layanan esensial, data pribadi dan manajemen krisis.
Gubernur Andi berharap bahwa ditahun 2024-2029 Indonesia memiliki Undang-Undang Ketahanan dan Keamanan siber. Sehingga Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan strategi keamanan siber nasional dengan memperkuat institusi melalui Lembaga Badan Sandi dan Siber Nasional yang harus ber-integrasi dengan Kementerian/Lembaga yang terkait serta memiliki satu infrastruktur siber nasional dengan kanal-kanal yang terintegrasi.
“Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh banyak negara menunjukkan bahwa 80% dari disinformasi ini memang akhirnya memiliki efek yang negatif terhadap proses konsolidasi demokrasi, dan untuk Indonesia ini harus kita waspadai karena kita akan masuk ke tahun politik, di mana konsolidasi demokrasi kita akan diuji terutama dalam proses tahapan pelaksanaan PEMILU tahun 2024,” tutur Gubernur Lemhannas RI.
Menurut Gubernur Andi, tren global saat ini menunjukkan semakin banyak negara yang memiliki aktivitas tentara siber dan hal ini terus meningkat. Di tahun 2020, data menunjukkan pada 81 negara terdeteksi penggunaan media sosial untuk menyebarkan propaganda komputasi dan disinformasi terkait politik. Angka tersebut menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya sebanyak 70 negara.
Seperti yang kita tahu, terjadinya invasi Rusia ke Ukraina yang berlangsung sejak 24 Februari 2022 menimbulkan gelombang disinformasi di ruang siber. Banyaknya narasi yang keliru di internet telah menggiring opini publik tidak sesuai dengan fakta. Disinformasi, misinformasi dan malinformasi menjadi fitur yang banyak ditemui pada saat berlangsungnya pemilu. Fenomena ini bahkan ditemui di negara demokrasi yang cukup kuat seperti Amerika Serikat. Dalam hal ini, Trump, secara aktif menggunakan media, baik konvensional maupun nonkonvensional untuk mengacaukan opini publik. Hal ini menjadi catatan, bahwa digitalisasi membuat penyebaran informasi dapat dengan mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Lebih lanjut, Gubernur Andi mengungkapkan bahwa tantangan Indonesia dalam menghadapi disinformasi saat ini dengan bagaimana melakukan 7 Pemilu Demokratis untuk Mewujudkan Demokrasi Matang. Dimana sejak Pemilu 2014, Indonesia mulai memasuki tahap konsolidasi demokrasi. Namun demikian, Indonesia perlu mewaspadai perkembangan situasi terkini yang sarat akan ketidakpastian.
Berdasarkan Studi Pew Research Center, menemukan bahwa setengah ahli di bidang teknologi memprediksi penggunaan teknologi dari saat ini hingga 2030 justru akan melemahkan demokrasi karena beberapa alasan yakni distorsi realitas yang cepat dan luas, menurunnya kualitas jurnalisme dan dampak dari kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism).
“Harapannya nanti di pemilu ke-7, tahun 2029 demokrasi kita akan matang. Sehingga untuk Indonesia kita semua harus mewaspadai kejadian-kejadian luar biasa terkait disrupsi informasi di ruang media pada saat memasuki lini masa Pemilihan Umum Serentak tahun 2024,” jelas Andi Widjajanto.