Jakarta, Komite.id – Implementasi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) pada militer sejatinya dapat mengeliminasi unsur kemanusiaan dalam perang. Padahal, pertimbangan manusia sangat diperlukan agar pengambilan keputusan perang tetap rasional.
Hal tersebut disampaikan delegasi Indonesia dalam Konferensi internasional ”Responsible Artificial Intelligence in The Military Domain (REAIM) 2023”, di World Forum, Den Haag, Belanda, (15/02/23).
Indonesia menjadi salah satu dari 70 negara yang menghadiri gelaran REAIM 2023. Selain menjadi pembicara, Indonesia juga diminta untuk memberikan pandangannya terhadap implementasi AI pada teknologi militer.
Menjadi salah satu delegasi Indonesia, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Andi Widjajanto, menyampaikan bahwa penggunaan sistem persenjataan otonom (autonomous weapons systems/AWS) menjadi kekhawatiran utama dalam implementasi teknologi AI pada militer.
Dimana AWS bekerja untuk menyerang target tanpa kendali manusia. Lain halnya dengan manusia, kecerdasan buatan tidak memiliki emosi yang dapat menjadi pertimbangan rasional saat memutuskan tindakan.
“Dalam perang, harus ada rasa takut akan mati, kalah dan hancur supaya perang tetap rasional. Jika rasa takut itu dihilangkan dengan mengganti tentara mesin, itu akan mempermudah pengambilan keputusan untuk berperang,” kata Andi, melansir Antaranews, Selasa (21/02).
Perlu diketahui, penggunaan kecerdasan buatan menjadi faktor penting dalam perkembangan angkatan bersenjata. Namun perlu digarisbawahi, kecerdasan buatan juga membawa sejumlah risiko sehingga membutuhkan pertimbangan dan kesepakatan dengan negara-negara di dunia untuk mengatur penggunaan AI di ranah militer.
Pasalnya, pengembangan teknologi yang semakin pesat tentu berkaitan dengan penggunaan senjata yang berpotensi memberikan dampak serius bagi masa depan kemanusiaan.
Dikatakan Andi, di tengah konsekuensi dehumanisasi itu, ada dua pilihan ekstrem yang dapat disepakati negara-negara di dunia. Pertama, melarang sepenuhnya terhadap penggunaan kecerdasan buatan pada militer. Tetapi, opsi ini tentu tidak mungkin disepakati karena mengikuti perkembangan teknologi yang merupakan keniscayaan, sehingga dunia tidak bisa melarang senjata nuklir, biologis dan kimiawi meskipun sudah terdapat perjanjian bersama.
Kedua, dengan memosisikan penggunaan AI sebagai senjata yang sempurna (Perfect weapon) yang jika digunakan akan menghancurkan segalanya. Oleh karenanya, negara yang memilikinya, hanya akan menggunakannya untuk mencegah perang atau memberikan efek deterrence dengan alasan tidak ada senjata lain yang dapat mengalahkannya.
Menurut Andi, aspek penggunaan kecerdasan buatan pada militer akan sangat bergantung pada negara pemilik teknologi tersebut. Dimana saat ini, Amerika Serikat dan China telah mengembangkan teknologi tersebut.
Sementara, negara-negara di luar itu bisa mendorong agar mereka menjadi aktor global yang bertanggung jawab mengembangkan teknologi secara rasional dan membuat protokol yang menjamin tidak adanya dehumanisasi perang.
Sebelumnya hal ini disampaikan Menteri Luar Negeri Belanda Wopke Hoekstra yang mengajak masyarakat dunia untuk duduk bersama menyepakati berbagai aspek terkait penggunaan kecerdasan buatan dalam militer.
“Sekarang sudah saatnya untuk duduk bersama sebagai masyarakat dunia untuk menyepakati isu terkait beberapa aspek teknologi baru ini, seperti juga halnya dengan penggunaannya di sektor lain, kecerdasan buatan membawa potensi sekaligus risiko dalam militer,” kata Wopke, melansir Antara, Selasa (21/02).
Seperti juga yang pernah dilakukan sebelumnya untuk senjata nuklir, kimia, dan biologi, kesepakatan soal AI diharapkan bisa dibuat, katanya pula.
Perkembangan kecerdasan buatan dalam militer cukup pesat. Sehingga, menurut Wopke, kita harus pastikan bahwa manusia terlibat dalam pengambilan keputusan.
“Tentu saja ini (konferensi REAIM 2023) baru menjadi langkah awal. Kita sudah memulai dan saya yakin ini akan menjadi jalan yang panjang. Langkah pertama itu penting,” katanya.
Semua negara, ujar dia, baik negara besar maupun kecil, dengan militer canggih atau tidak, harus paham
Seperti halnya melakukan perjalanan, dengan feedback yang bagus, Menlu Belanda optimistis bahwa dunia sudah memulai perjalanan.
“Tapi kita juga harus realistis bahwa kita memasuki teritori yang tidak kita tahu sebelumnya. Dengan perkembangan di bidang AI saat ini, mungkin belum akan ada konklusi akhir,” ujarnya.
Sebuah “seruan untuk bertindak” diharapkan bisa dirumuskan dalam konferensi dan disepakati oleh semua negara yang terlibat.
“Meski belum ada kesepakatan terkait isu ini, semua negara diharapkan bisa hadir dan saya akan mendorong dirumuskannya sebuah kesepakatan yang ditandatangani semua negara,” kata Wopke.
Sebelumnya, Kepala Bidang Perdagangan Senjata Organisasi Perdamaian Belanda PAX Frank Slipjer mendesak masyarakat dunia untuk segera merumuskan pakta mengenai senjata otonom penuh (AWS), untuk memastikan bahwa manusia masih memegang kendali utama dalam penggunaan senjata berbasis kecerdasan buatan.
Belanda, kata dia, perlu melangkah ke depan untuk mendukung pakta mengenai penggunaan senjata otonom penuh berbasis kecerdasan buatan (AI) ini.
Palang Merah Internasional (ICRC) mendefinisikan senjata otonom penuh sebagai sistem persenjataan yang memiliki otonomi dalam situasi kritis.
Senjata ini memiliki kemampuan untuk memilih dan menyerang target tanpa keterlibatan manusia dan hanya berdasar data sensor. Artinya, manusia tidak tahu secara spesifik objek yang akan diserang, serta waktu dan tempat serangan.