Jakarta, Komite.id – Kemajuan teknologi yang semakin pesat, tidak terlepas dari hadirnya beragam inovasi yang dilakukan. Kini, untuk dapat membaca pikiran seseorang, kita tidak perlu berhubungan dengan misteri, melainkan pada teknologi.
Dalam hal ini, tim peneliti dari University of Texas di Austin, memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan pemindaian otak functional magnetic resonance imaging (fMRI) untuk membaca pikiran manusia dengan menyalin dan menguraikannya menjadi kalimat yang dapat diketahui.
Penelitian ini dipimpin oleh Jerry Tang sebagai kandidat doktoral di bidang ilmu komputer, bersama rekan-rekan, di antaranya Alexander Huth asisten profesor ilmu saraf dan komputer di UT Austin, Amanda LeBel mantan asisten peneliti di Huth Lab dan Shailee Jain lulusan ilmu komputer UT Austin.
Berdasarkan laporan studinya, melalui pemindaian fMRI, dapat mengumpulkan data aktivitas otak yang berkaitan dengan kata, makna, dan semantik, lalu menjalankannya melalui model bahasa jaringan saraf yang ditenagai oleh GPT-1 yang merupakan model AI buatan openAI sebagai pelopor teknologi AI yang digunakan untuk ChatGPT.
Alexander Huth sekaligus salah satu penulis studi baru tersebut mengatakan, decoder bekerja sangat berbeda dengan model lain yang juga berhasil menerjemahkan pikiran ke dalam frase yang dapat dibaca.
“Sistem kami benar-benar bekerja pada level ide, semantik, makna. Kami memecahkan kode sesuatu yang lebih dalam dari bahasa, dan kemudian mengubahnya menjadi Bahasa,” jelas Alex, seperti mengutip Mashable Se ASIA, Kamis (04/05).
Menurut penelitian yang terbit di jurnal Nature Neuroscience per 01 Mei 2023 mengungkapkan bahwa teknologi ini merupakan sistem pertama yang dapat merekontruksi Bahasa berkelanjutan tanpa implan otak invasif.
Dengan mengikuti pelatihan ekstensif pada satu individu yang berlangsung selama beberapa jam, AI dapat memprediksi bagaimana otak subjek tersebut akan merespons ucapan yang dirasakan, lalu menyaring respons hingga yang paling mungkin, mengungkapkan apa yang dipikirkan orang tersebut secara kasar.
Selain itu, disebutkan bahwa karena kecepatan pemindaian MRI terlalu lambat untuk menangkap kata-kata individual, pikiran dikumpulkan dalam beberapa bentuk campuran informasi selama beberapa detik.
Untuk mendapatkan penelitian ini, tiga orang telah menghabiskan waktu selama 16 jam di dalam mesin fMRI dengan mendengarkan cerita naratif lisan, seperti podcast “Modern Love” dari The New York Times. Hal ini dilakukan para peneliti untuk memetakan bagaimana kata, frasa, dan makna memicu respons di wilayah otak yang dikenal untuk memproses bahasa.
Untuk menguji seberapa akurat model tersebut, peneliti melakukan uji balik. Dimana responden diminta untuk mendengarkan cerita saat berada di mesin fMRI dan peneliti akan mengidentifikasikan citra otak sementara model mengambil pemikiran kasar mereka dan mencetaknya menjadi kalimat yang koheren.
Dalam satu contoh, seorang peserta mendengar ungkapan “Saya belum memiliki SIM”, dan kemudian secara mental menjawab dengan pemikiran “dia bahkan belum mulai belajar mengemudi”.
Menurut tim periset tersebut, decoder belum familiar dengan penggunaan kata ganti orang seperti “aku” dan “dia”. Tetapi, ketika peserta diperlihatkan film tanpa dialog, atau ketika mereka membuat skenario di kepala mereka, model tersebut masih dapat mengambil contoh kasar inti dari pemikiran mereka.
Meski demikian, dengan hadirnya teknologi tersebut yang terbukti mampu menguraikan dan menyajikan pemikiran manusia untuk dilihat semua orang, hal ini tentu menimbulkan masalah privasi dan etika yang mana dapat membaca pikiran tanpa persetujuan pasien.
Kekhawatiran Privasi dan Keamanan pikiran
Menanggapi kekhawatiran tersebut, tim periset telah memastikan bahwa decoder hanya dapat bekerja pada individu setelah melakukan pelatihan berjam-jam pada aktivitas otak mereka. Bahkan, mungkin juga untuk melatih subjek dapat menggagalkan decoder membaca pikiran.
Misalnya, dengan sengaja memikirkan angka dalam pola yang ditetapkan, atau membayangkan cerita imajiner yang akan cukup menggagalkan niat decoder.
Namun, beberapa ahli yang tidak terkait dengan penelitian tersebut, juga telah menyuarakan keprihatinan terkait teknologi tersebut.
Profesor bioetika di Universitas Granada, Spanyol David Rodriguez-Arias Vailhen, mengakui bahwa teknologi semacam itu melampaui apa pun yang pernah dicapai oleh iterasi perangkat otak-komputer sebelumnya, dan bahwa ini hanya mendekatkan umat manusia ke kenyataan di mana pikiran orang dapat dibaca oleh mesin tanpa sadar atau bertentangan dengan keinginan mereka.
“Pikiran kita sejauh ini adalah penjaga privasi kita. Penemuan ini bisa menjadi langkah pertama untuk mengkompromikan kebebasan itu di masa depan,” imbuhnya.