Pencetus AI Tinggalkan Google, Beri Peringatan Bahaya Kecerdasan Buatan untuk Manusia

0
1223
Dok. https://www.cbc.ca/radio/asithappens/geoffrey-hinton-artificial-intelligence-advancement-

Jakarta, Komite.id – Baru-baru ini, salah satu pelopor kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), Geoffrey Hinton meninggalkan jabatannya di Google, minggu lalu.

Pria yang dijuluki Godfather of AI ini mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri sebagai VP Google dan rekan-rekannya pada bulan April untuk bisa memperingatkan tentang bahaya yang terkait dengan teknologi tersebut, secara bebas kepada The New York Times.

“Saya keluar sehingga saya dapat berbicara tentang bahaya AI tanpa memikirkan dampaknya terhadap Google,” ujar Geoffrey Hinton dalam Twitter, mengutip Antaranews, Jumat (05/05).

Keputusan tersebut diambil usai menyadari bahwa komputer bisa menjadi lebih cerdas dari manusia jauh lebih cepat dari yang diperkirakan para pakar.

Dia mengaku khawatir kepada kemampuan AI dalam menciptakan gambar dan teks tiruan secara meyakinkan sehingga menciptakan dunia yang membuat orang mampu tidak lagi memahami mana yang benar dan mana yang tiruan.

“Sulit mengetahui bagaimana Anda bisa mencegah orang jahat tidak menggunakannya untuk kejahatan,” jelas dia dalam wawancara dengan New York Times (NYT).

Teknologi itu bisa dengan cepat menggantikan pekerja dan menjadi lebih berbahaya karena mampu mempelajari perilaku-perilaku baru.

Dalam sebuah wawancara dengan MIT Technology Review, Hinton juga menunjuk pada “aktor jahat” yang mungkin menggunakan AI dengan cara yang dapat berdampak buruk pada masyarakat seperti memanipulasi pemilu atau menghasut kekerasan.

“Gagasan bahwa benda ini sebenarnya bisa menjadi lebih cerdas daripada manusia, diyakini oleh sejumlah orang,” lanjut Hinton kepada NYT.

“Namun, kebanyakan orang berpikir hal itu masih jauh. Dan saya juga dulu berpikir seperti itu. Saya kira masih perlu waktu 30 sampai 50 tahun atau lebih lama lagi. Jelas, saya tak lagi berpikir seperti itu,” paparnya.

Lebih lanjut, Hinton mengatakan dalam Twitter bahwa Google sendiri telah “bertindak sangat bertanggung jawab”. Dia membantah anggapan dirinya keluar agar bisa mengkritik perusahaan itu.

Meski demikian, inti dari perdebatan tentang keadaan AI adalah apakah bahaya utama ada di masa depan atau sekarang. Di satu sisi terdapat skenario hipotetis risiko eksistensial yang disebabkan oleh komputer yang menggantikan kecerdasan manusia. Di sisi lain adalah kekhawatiran tentang teknologi otomatis yang sudah digunakan secara luas oleh bisnis dan pemerintah dan dapat menyebabkan kerugian di dunia nyata.

“Baik atau tidak, momen chatbot telah menjadikan AI sebagai percakapan nasional dan percakapan internasional yang tidak hanya mencakup pakar dan pengembang AI,” kata Alondra Nelson, yang hingga Februari memimpin Kantor Sains dan Gedung Putih.

“AI tidak lagi abstrak, dan kami memiliki semacam pembukaan, saya pikir, untuk memiliki percakapan baru tentang apa yang kami inginkan dari masa depan yang demokratis dan masa depan yang tidak eksploitatif dengan teknologi,” kata Nelson dalam sebuah wawancara bulan lalu.

Sejumlah peneliti AI telah lama menyatakan keprihatinan tentang ras, jenis kelamin, dan bentuk bias lainnya dalam sistem AI, termasuk model bahasa besar berbasis teks yang dilatih pada banyak sekali tulisan manusia dan dapat memperkuat diskriminasi yang ada di masyarakat.

Sarah Myers West, Managing Director AI Now Institute dan baru-baru ini menjabat sebagai Penasihat Senior AI di Federal Trade Commission, mengatakan bahwa, “Kita perlu mengambil langkah mundur dan benar-benar memikirkan tentang kebutuhan siapa yang dikedepankan dan dipusatkan dalam diskusi tentang risiko,” kata Sarah.

“Bahaya yang diberlakukan oleh sistem AI saat ini benar-benar tidak terdistribusi secara merata. Ini sangat memperburuk pola ketidaksetaraan yang ada,” paparnya.

Hinton merupakan salah satu dari tiga pelopor AI yang pada tahun 2019 memenangkan Penghargaan Turing, sebuah penghargaan yang kemudian dikenal sebagai Penghargaan Nobel versi industri teknologi. Dua pemenang lainnya, Yoshua Bengio dan Yann LeCun, juga menyatakan keprihatinan tentang masa depan AI.

Yoshua Bengio, seorang Professor of Computer Science, di University of Montreal, menandatangani petisi pada akhir Maret yang meminta perusahaan teknologi untuk menyetujui jeda 6 bulan dalam mengembangkan sistem AI yang kuat, sementara LeCun, seorang ilmuwan AI top di induk Facebook Meta, telah mengambil lebih banyak pendekatan optimis.

Sebagai informasi, Google sebagai karya rintisan Hinton di jaringan neural ini membentuk sistem AI yang telah menggerakkan banyak produk saat ini. Dirinya telah bekerja selama kurang lebih satu dekade di Google untuk mengembangkan teknologi raksasa tersebut. Namun, kini Hinton memiliki kekhawatiran dengan teknologi itu dan perannya untuk memajukan di masa depan.