Jakarta, Komite.id – TikTok adalah aplikasi jejaring sosial dan platform video musik yang memungkinkan penggunanya membuat, mengedit, dan berbagi klip video pendek dengan beragam efek, filter, dan musik sebagai medianya. Aplikasi ini berasal dari Tiongkok dan diluncurkan pada September 2016 oleh Zhang Yiming, pendiri perusahaan teknologi ByteDance. Aplikasi ini awalnya bernama Douyin di negara asalnya, namun kemudian diubah menjadi TikTok untuk pasar global.
TikTok merupakan salah satu aplikasi terpopuler di dunia termasuk di Indonesia. Aplikasi ini memiliki banyak fitur menarik dan inovatif seperti penambahan musik, efek khusus, augmented reality, duet, tantangan dan lain-lain.
TikTok juga menjadi platform berbagai konten kreatif, seperti tutorial, review, tips, penjualan dan lain-lain. TikTok juga memberikan kesempatan kepada pengguna untuk menjadi pembuat konten dan menunjukkan bakat serta kreativitas mereka kepada jutaan orang di seluruh dunia.
Sekadar informasi, sebelumnya diberitakan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah sempat menolak izin TikTok menjalankan bisnis e-commerce dan media sosial di Indonesia secara bersamaan, karena dianggap terlalu berkuasa dan memonopoli pasar. Namun, Tesar berpikir sebaliknya. Menurutnya, sebenarnya pemerintah belum terlalu peduli dengan sifat adiktif dan monopoli media sosial.
TikTok juga mengalami beberapa kontroversi dan tantangan dalam perkembangannya. Pada tahun 2018, TikTok diblokir oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) RI karena diduga mengandung konten negatif dan non-edukasi. Namun setelah melakukan negosiasi dan perbaikan, TikTok dapat diakses kembali dengan menerapkan pembatasan usia dan menghapus konten bermasalah. TikTok juga bersaing dengan aplikasi serupa bernama Musical.ly yang kemudian diakuisisi ByteDance pada tahun 2017 senilai Rp 13,6 miliar.
Sikap pemerintah yang terkesan sangat keras terhadap perdagangan sosial TikTok bukan disebabkan oleh adanya kemungkinan monopoli perdagangan online atau kombinasi layanan media sosial dan pasar, namun karena lemahnya penegakan peraturan.
Presiden Komunitas Pemberdayaan Digital Indonesia (Idiec), Tesar Sandikapura, menilai kehadiran TikTok di Indonesia bahkan menjadi kekuatan yang membantu Indonesia dan beberapa negara mempromosikan perdagangan sosial ini.
“Sepengetahuan saya, ada beberapa negara yang ditutup ya karena berasal dari jejaring sosial, karena memanfaatkan kecanduan orang menggunakan jejaring sosial. Apalagi ada fungsi pembeliannya,” Ujar Tesar, Kamis (09/07).
Tesar mencontohkan dua raksasa carpooling yang tampaknya melakukan monopoli ganda di Indonesia. Namun, pemerintah sepertinya menutup mata terhadap kedua perusahaan tersebut.
Soal Monopoli, Tesar juga menyebut TikTok masih cenderung menyasar anak muda. Sedangkan segmen dewasa masih dimiliki oleh dua raksasa e-commerce berlogo oranye dan hijau.
“Monopoli atau tidak sebenarnya Indonesia tidak mengaturnya,” kata Tesar.
Jadi Tesar berpendapat bahwa yang seharusnya dilakukan TikTok hanyalah menghubungi pemerintah Indonesia untuk mengatur dan mengenakan pajak.
Tesar menilai TikTok memiliki jumlah transaksi dan pengikut yang banyak sehingga mampu memberikan pemasukan yang cukup besar bagi Indonesia.
“Saya akui TikTok sangat kuat. Jika tidak dikelola, Indonesia tidak akan mendapat apa-apa. Jangan bayar pajak misalnya, jangan izinkan ini dan itu. Jadi ini soal kedaulatan,” kata Tesar.
Oleh karena itu, model bisnis social commerce akan diatur lebih rinci dalam Permendag perubahan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Transaksi Elektronik (PPMSE). Peraturan saat ini sedang disepakati antar kementerian dan lembaga mulai 1 Agustus 2023.
Hadirnya social commerce TikTok di Indonesia disinyalir akan menggerus UMKM Indonesia.
Nailul Huda, pengamat Institut Pembangunan Ekonomi dan Keuangan, mengatakan “TikTok dan pabrikan China tampaknya memiliki kemitraan khusus. Memang sebagian besar produk di kolom “FYP” di TikTok adalah produk asal China.”
“Produk kita mau tidak mau akan tergerus. Hanya kosmetik, yang kini menjadi raja di TikTok, yang merupakan produk dari Tiongkok. Begitu pula dengan barang-barang asal China lainnya,” kata Huda, Kamis (09/07).
Ini semakin berbahaya karena produk asal China justru jauh lebih murah dibandingkan produk dalam negeri. Sebab, ukuran produsen komoditas di Tiongkok sudah berbasis industri dan terdapat dugaan penetapan harga selangit.
Selain itu, Huda juga menduga barang-barang yang dijual di Indonesia telah diintervensi oleh pemerintah China.
Oleh karena itu, Huda berharap pemerintah mengatur aktivitas social commerce di TikTok. Menurut Huda, hal ini karena TikTok tidak bisa dihentikan atau dilarang. “Karena pada dasarnya interaksi di media sosial tidak ada batasnya,” ujar Huda.
Huda juga mengatakan tindakan yang dilakukan TikTok bukan merupakan monopoli. Menurut Huda, pangsa pasar dua e-commerce raksasa Tanah Air, Shopee dan Tokopedia, masih jauh lebih besar dibandingkan TikTok Shop.
Namun, Huda mengakui nasib “membakar uang” yang diraih TikTok akan memiliki hasil yang berbeda dibandingkan dua raksasa e-commerce yang kini mulai efektif bergulir.
Menurut Huda, TikTok masih memperoleh pendapatan dari jejaring sosial tersebut, baik melalui iklan maupun lainnya. Hal inilah yang membuat TikTok bertahan lama dan bahkan lebih berbahaya. Sebagai informasi, baru-baru ini Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KemenKop UMKM), Teten Masduki diduga membantah TikTok mengelola perusahaan e-commerce dan media sosial secara bersamaan di Indonesia karena dianggap terlalu kuat.
Namun, Teten mengatakan TikTok memang boleh berjualan asalkan tidak dilakukan bersamaan dengan jejaring sosial tersebut.
“Kami mengetahui melalui penelitian dan survei bahwa belanja online dipengaruhi oleh percakapan media sosial. Belum lagi sistem pembayarannya, mereka mengurus semua logistiknya. Namanya monopoli,” ujar Teten, Rabu (09/06).
Teten juga mengatakan india harus belajar dari India dan Amerika yang sempat menolak TikTok.