Jakarta, Komite.id- Imbal hasil obligasi Indonesia (tenor 10 tahun dan 2 tahun) beranjak turun sejak kuartal kedua berkat sentimen global yang membaik serta kebijakan dalam negeri yang suportif. Walaupun suku bunga acuan berada di titik terendah, kebijakan fiskal yang longgar tetap dijaga untuk mendukung pertumbuhan.
Pengeluaran di Jan-Apr 2021 yang naik 16% secara tahunan telah melampaui pendapatan, dan defisit anggaran mencapai 0,8% dari PDB sejak awal tahun atau naik dua kali lipat jika dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu.
Tim DBS Group Research tidak melihat risiko terhadap target defisit tahun ini (-5,7% dari PDB). Namun, pemerintah juga berusaha menghindari pembengkakan neraca anggaran di tahun depan akibat perubahan kebijakan pajak dan pengeluaran, yaitu dengan mencari sumber pendapatan tanpa mengurangi pengeluaran secara tajam.
Target indikatif defisit di 2022 ditetapkan sebesar 4,5-4,8% dari PDB. Reformasi pajak sedang diupayakan, dengan usulan utamanya termasuk a) tarif pajak pertambahan nilai berjenjang, dengan tarif lebih tinggi untuk barang mewah; b) pajak digital atas perusahaan dan retribusi atas transaksi elektronik; c) tarif pajak lebih tinggi untuk golongan atas (HNWI); d) pajak karbon, untuk disisipkan ke kolom pajak atau sebagai biaya tambahan.
Sementara keinginan membuat perubahan serta kapan perubahan itu dibuat tergantung pada pandemi dan kecepatan pemulihan, rencana untuk memperkuat keuangan akan memberi dampak positif bagi pasar obligasi.
Imbal hasil obligasi pemerintah India bertenor 10 tahun sebagian besar diperdagangkan dengan selisih harga tipis sejak pertengahan April, karena investor memperhatikan saldo kas pemerintah dan kehadiran aktif bank sentral untuk mengelola pinjaman tahun fiskal 2022. Itu diperkuat peningkatan program pembelian obligasi GSAP RBI pada kuartal ketiga 2021, menjadi 1,2 triliun rupee vs 1 triliun rupee pada kuartal kedua, di samping operasi pasar reguler dan penurunan suku bunga jangka panjang.
Masa depan tergantung pada bagaimana kebijakan fiskal terbentuk. Untuk fiskal 2022, pendapatan pada kuartal kedua 2021 mungkin terpukul akibat gelombang kedua Covid, tetapi akan membaik pada kuartal ketiga, terutama pemungutan tidak langsung (indirect collections) dan pendapatan cukai bahan bakar, saat pembukaan berlangsung. Transfer dividen lebih besar daripada RBI juga akan menjadi penyeimbang tepat waktu (lihat di sini). Namun, penerimaan dari divestasi mungkin mengalami penundaan.
Di sisi pengeluaran, alih-alih ada stimulus baru, bantuan sosial melalui jatah makanan gratis (PMGKY) malah diperpanjang hingga November. Bersamaan dengan itu, menyusul perubahan dalam strategi vaksinasi, pengadaan dipusatkan, yaitu pemerintah pusat akan menyediakan 75% dari vaksin, yang akan dipasok gratis ke negara bagian untuk menginokulasi penduduk usia 18 tahun ke atas, sementara 25% sisanya akan dibeli rumah sakit swasta, dengan penetapan maksimum harga yang diatur.
Laporan Bloomberg mengutip pernyataan pejabat bahwa dua perubahan itu akan membebani menteri keuangan tambahan pengeluaran sebesar 800 miliar rupee (0,4% dari PDB) – 700 miliar rupee untuk pengadaan biji-bijian untuk makanan dan 100 miliar rupee untuk vaksin. Mengingat pasokan vaksin beragam– produksi dalam negeri dan varietas impor, yang lebih mahal – pengeluaran sebenarnya untuk vaksin mungkin lebih tinggi daripada indikatif 450 miliar rupee (yaitu 350 miliar rupee yang dianggarkan ditambah kenaikan 100 miliar rupee).
Pengeluaran tahun fiskal 2022 menghadapi risiko kenaikan ~0,4-0,5% dari PDB, menimbulkan risiko terhadap defisit, yang diperkirakan -6,8% dari PDB. Namun, perhitungan akhir mungkin menemukan beberapa ruang gerak dari nilai nominal PDB lebih tinggi (deflator lebih tinggi) dan kemungkinan penyusunan ulang prioritas dalam total pengeluaran untuk meminimalkan risiko defisit meleset di luar target. (red)