“Misi kami di Bank Raya adalah bagaimana untuk mentransformasi Gig Economy Indonesia supaya laju pertumbuhan finansialnya semakin baik dari tahun ke tahun….”
Jakarta, Komite.id – Keynote dari CEO Bank Raya Indonesia dalam Websummit Satu Data Indonesia 2022 di hari pertama membahas mengenai “Unlocking Indonesian Gig Economy Potential With Bank Raya”. Di era yang sudah tidak linear ini nyatanya menyebabkan pertandingan digital yang berbasis exponential growth.
“Untuk bertanding agar bisa mencapai exponential tersebut, maka saat ini kita perlu menguasai beberapa teknologi seperti API (Application Programming Interface), dengan tidak hanya mengolaborasikan API tetapi juga membangun elemen lainnya sampai menuju keunggulan-keunggulan di Big Data,” tutur Kaspar Situmorang, melalui virtual Zoom Meeting, Selasa (05/07).
Menurut CEO Bank Raya, kunci keberhasilan dari pemain-pemain digital saat ini ialah sudah bukan lagi Linear Growth, tetapi Exponential Growth dengan menggunakan teknologi berbasis API. “Tentunya untuk dapat memuaskan kebutuhan pelanggan, maka harus sudah mengadopsi teknologi yang berbasis kecerdasan artifisial (AI). Kombinasi antara API dan AI itulah yang saat ini menguasai dunia sehingga pertumbuhan-pertumbuhan perusahaan digital tadi tentu bisa mencapai exponential growth,” lanjutnya.
Berdasarkan data Statista tahun 2021, jumlah data yang dikonsumsi secara global telah mencapai 79 Triliun Gigabytes. Angka ini diproyeksikan akan terus bertumbuh hingga mencapai lebih dari 190 Triliun Gigabytes pada tahun 2025. Oleh karena itu, hal ini menjadi peluang bagi negara-negara yang berpopulasi besar untuk memiliki kedaulatan data.
“Jadi kalau dulu kita punya sumber daya alam yang besar, sekarang kita memiliki sumber data yang luar biasa besar, namun jika kita tidak bisa mengelolanya dengan baik maka sudah pasti akan menjadi bottleneck atau blocker bagi kita, sebaliknya jika kita mampu mengelola sumber data di Indonesia dengan baik maka inilah alternatif-alternatif data yang bisa kita gunakan untuk berbagai industri,” imbuhnya.
Terkait dengan hal tersebut, Kaspar menerangkan bahwa ada banyak hal yang bisa digunakan untuk industri perbankan di antaranya Customer profiling, Underwriting, Cybersecurity, Regulatory Compliances, Lending Decisions dan Payment Channels Data.
Perlu diketahui, masalah keamanan siber dan kepatuhan dalam melindungi data masih terus terjadi dunia ini. Jadi jika dilihat antara peraturan atau regulasi yang berlaku dengan kemampuan organisasi-organisasi untuk memenuhinya, Gap nya masih sangat besar. Seperti beberapa contoh yang dipaparkan CEO Bank Raya yaitu terkait proses Data Breach (Kebocoran Data) yang mana menyebabkan suatu Bank didenda akibat sistem anti money laundering (pencucian uang) tidak berhasil, juga terdapat beberapa kepatuhan yang tidak berhasil dipenuhi.
“Hal-hal seperti inilah yang kami lihat di industri keuangan, misalnya masih banyak sekali Gap nya yang belum bisa dipenuhi oleh beberapa pemain terkait dengan regulasi yang berlaku, sehingga ini menjadi kesempatan yang besar bagi kita pelaku di industri keuangan, bagaimana mengombinasikan solusi-solusi berbasis kecerdasan artifisial (AI) dan Big Data untuk memperkecil Gap atau tidak menghilangkannya,” jelas Kaspar.
Pada dasarnya, hal utama yang perlu diperhatikan dalam industri keuangan secara umum ialah semua aplikasi maupun software yang digunakan pasti membutuhkan ID Verification study.
“Saat ini yang pasti ialah ketergantungan industri keuangan terhadap ID Verification dan e-KYC yang sangat tinggi,” pungkasnya.
Melihat perkembangan digital yang sangat cepat, BRI Group sejak tahun 2019 sudah memulai memiliki BRI BRAIN untuk melakukan credit score, customer profiling score, brilink score dan fraud score. Dengan bantuan keuangan BRI BRAIN ini, Kaspar menerangkan bahwa Group keuangan BRI bertransformasi lebih cepat. Sehingga di tahun 2021 melahirkan sebuah anak baru yang bernama PT Bank Raya Indonesia sebagai bank digital milik BRI yang difokuskan menjadi digital attacker. Supaya dapat melayani pelanggan lebih banyak dan lebih cepat sebagai bantuan ekosistem Group BRI.
Lebih jauh, Kaspar menjelaskan bahwa Bank Raya hadir untuk mengamplifikasi bagaimana proses-proses credit underwriting yang jauh lebih cepat, tanpa campur tangan manusia, dengan waktu singkat sudah bisa melakukan pencairan kredit. Dal hal ini Bank Raya dilahirkan BRI untuk melakukan transformasi bagi para pekerja informal di Indonesia. Dari para pekerja tanpa slip gaji (Gig Economy worker) yang jumlah angkanya dari tahun ke tahun semakin bertumbuh.
“Inilah segmen-segmen yang dilayani oleh Bank Raya sehingga kita berupaya bagaimana membawa para pekerja informal tersebut dengan berbasis teknologi keunggulan Big Data, yang tidak punya slip gaji kebutuhannya bisa kami lengkapi dengan baik,” ungkapnya.
Diterangkannya, bahwa pada akhir 2025 para pekerja informal Indonesia ini akan bertumbuh mencapai 74 juta dengan total ekonomi mencapai USD 314 miliar. Bank Raya bertransformasi dengan melakukan pergantian nama yang sebelumnya BRI Agro menjadi Bank Raya. Selain itu, Bank Raya juga mengembangkan bisnis ekspansi yang mana pada postur sebelumnya, Bank Raya menyediakan kredit jangka panjang, sedangkan kini berubah menjadi kredit harian.
Tak hanya itu, Bank Raya juga mengelola Big Data dan AI dengan nama Rayamind untuk mengunci kolektif data yang dimiliki pengguna untuk memberikan nilai tambah bagi teman-teman di industri Gig Economy Indonesia sehingga nantinya dapat mengakses produk-produk keuangan yang lebih kompleks.
“Misi kami di Bank Raya adalah bagaimana untuk mentransformasi Gig Economy Indonesia supaya laju pertumbuhan finansialnya semakin baik dari tahun ke tahun, sehingga sesuai dengan misi BRI Group untuk memberi makna Indonesia. Dimana Bank Raya ada di dalamnya untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya dari para pekerja informal,” tutupnya.
Masa Depan Bank Digital, Pembayaran Digital & CBDC
Bank Raya, sebagai Bank Digital dari Bank Rakyat Indonesia sudah tentu menyambut baik usulan dari Gubernur BI pada pertemuan G20. Pada pertemuan Para Pejabat Finance Ministers & Central Bank Governor (FMCBG) atau Gubernur Bank Sentral Negara G20 dan Menteri Keuangan Negara G20, Gubernur Bank Indonesia Dr Perry Warjiyo mengusung fasilitas Bank Indonesia Fast Payment atau dikenal dengan BI Fast sebagai infrastruktur system pembayaran Ritel Nasional yang melayani pembayaran dari merchant dan masyarakat secara realtime, aman, efisien dan 24 by 7.
Layanan BI Fast ini dapat diakses melalui kanal Mobile Payment, ePayment dan kanal lainnya seperti ATM, QRIS (Quick Response Indonesian Standard) serta EDC (Electronic Data Capture). BI Fast sudah dapat dipastikan akan mendisrupsi sistem pembayaran digital Ritel Ecommerce via Bank Digital seperti halnya Ant Financial Service Group Alibaba dan Alipay di Tiongkok.
Terkait dengan Digital atau Crypto Currency, saat ini lebih dari 100 Bank Sentral di dunia, termasuk Bank Indonesia sudah menyampaikan rencananya di Forum G20 Bank Central mengkaji dan merancang CBDC (Central Bank Digital Currency) sebagai alat pembayaran masa depan. Bank Indonesia (BI) sangat berhati-hati (prudent) merancang pengembangan Digital Rupiah, mengingat Sistem Pembayaran Masa Depan membutuhkan jaminan keamanan yang handal dan peran regulator, BI dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dalam implementasinya serta menjaga kestabilan dan nilainya, seperti People’s Bank of China (PBoC) sudah merilis eRMB (digital Yuan e-CNY).