TEKNOLOGI INFORMASI DALAM DEBAT CAPRES

0
1171
Foto : Sesi debat kelima Pilpres 2024 Capres nomor urut 1 Anies Baswedan (kiri) Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto (tengah) Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo (kanan)

Jakarta, Komite.id – Debat pamungkas untuk ketiga capres 2024 telah berlangsung pada hari Minggu malam, 4 Februari 2024.Tiga gagasan yang dibahas bertema kesejahteraan sosial, pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan inklusi.

“Adapun sub temanya meliputi pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kebudayaan, teknologi informasi, kesejahteraan sosial dan inklusi”.

Masyarakat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tentu terhenyak, karena pertanyaan bidang IT yang disiapkan tim panelis dan terpilih yang lalu disampaikan moderator adalah tentang perlunya pabrik ponsel di Indonesia.

Pertanyaan yang “bagus” tetapi sejatinya sudah out of date, apalagi ketika dibawa ke level debat Capres yang seharusnya berbicara di tataran visi dan wawasan kenegaraan sesuai tuntutan zaman. Sayang sekali.

BUMN PT Inti di awal implementasi GSM, tahun 1997an pernah memproduksi ponsel merek Ziga. Begitu juga fabrikan lokal Sanex dan Nexian sekitar tahun 2002an membuat ponsel Flexi CDMA dengan basis Symbian.

Sesuai Permenkominfo No. 13 Tahun 2021 perangkat 4G dan 5G yang dirilis pada pertengahan 2022 harus memenuhi persyarakat TKDN sebesar 35%.

Mau bikin yang TKDN 100%? Tidak mungkinlah. Teknologi chipset untuk prosesor, kamera dan sistem audio micro dan layar sentuh LCD,  sesuatu yang amat hi-tech dan usia life cycle-nya pun terus berubah dalam waktu singkat.

Fabrikan Amerika, Eropa dan bahkan Jepang, sudah lama mengalah. Mereka tak tahan menghadapi gempuran dahsyat China dan Korea.

Lebih dari itu, Indonesia adalah “surganya” belanja ponsel. Mau yang paling baru sampai yang paling bekas, tersedia di bursa ponsel yang tersebar di seluruh Nusantara.

Jumlah pemakai seluler Indonesia saat ini jauh melebihi populasi penduduk. Artinya banyak orang yang berlangganan lebih dari satu nomor seluler, dan memiliki lebih dari satu ponsel.

Untunglah pada sesi debat kemarin, capres Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo tidak larut dalam diskusi seputar pertanyaan tersebut. Anies dengan gesit menyampaikan bahwa masalah fabrikasi adalah domain usaha; sedangkan Ganjar secara meyakinkan mengingatkan bahwa pabrik ponsel sudah ada di Semarang.

Dalam debat capres, khususnya pada subtema IT, komunitas TIK tentu berharap lebih. Sudah sejak 10 tahun yang lalu, di Indonesia bicara intens bagaimana mengentaskan kesenjangan digital. Connect, innovate and transform. Dari sini kita melangkah ke gerakan nasional Transformasi Digital, Making Indonesia 4.0, dan Penyiapan SDM Digital.

Pagebluk pandemi covid-19, telah menjadikan masyarakat dunia seketika menjadi digital society.

Tidak kurang, di puncak masa pandemi tersebut, pada pertengahan tahun 2020, Presiden Jokowi mencanangkan Program Percepatan Transformasi Digital.

Unggulannya adalah penyediaan 600.000 lulusan bertalenta digital, atau 9 juta lulusan dalam 15 tahun ke depan. Selain itu adalah intensifikasi penggelaran infrastruktur internet broadband, dan pembangunan pusat data.

Melanjuti program TD ada pelbagai program Kemandirian Digital dan Kedaulatan Digital. Di sekeliling kita sekarang telah pula tumbuh kehidupan yang serba online, realtime dan terintegrasi dengan perbagai dampaknya. Belum lagi fenomena Smart City interoperability, Big Data, metaverse dan Artificial Inteligence.

Presiden Indonesia, Soeharto, pada tahun 1996 pernah mewujudkan Wawasan Nusantara melalui Satelit Palapa I; dan 1997 menyusul program Nusantara-21 untuk mengantisipasi lalu lintas informasi semesta.

Kanselir Jerman, Angela Markel, pada tahun 2015 di World Economy Forum berbicara tentang Industry 4.0 dan dampaknya bagi dunia. Tahun 2019 PM Jepang, Shinzo Abe,  berbicara tentang Society 5.0 untuk Jepang dan kemanusiaan global.