MATRA SIBER TNI “BERSIAP PERANG DI DUNIA MAYA”

0
22

Jakarta, Komite.id – Menyusul perayaan HUT TNI yang ke-79 tanggal 5 Oktober 2024 yang lalu, pembentukan matra siber di lingkungan TNI sepertinya mendekati kenyataan. Hal ini sejalan dengan perintah Presiden kepada Panglima TNI, untuk membentuk Angkatan Siber.

Perang Ukraina belum mereda, sementara perang Jalur Gaza kini makin meluas. Runyamnya, di Timur Tengah para pihak yang bermusuhan, kini bahkan saling baku serang.

Konsekuensi dari sikap tegas Indonesia di PBB yang pro kemerdekaan Palestina dan garis politik luar negeri RI yang bebas aktif, mau tidak mau membawa kita masuk ke dalam doktrin Dē Rē Mīlitārī (5 Masehi), si vis pacem para bellum. Bila ingin damai bersiaplah perang.

Sejatinya, wacana tentang pembentukan matra siber TNI bukanlah hal yang baru. Menteri Pertahanan (2009-2014) Purnomo Yusgiantoro, pernah menandatangani Permenhan No.82/2014 tentang Pedoman Pertahanan Siber; sebagai pedoman pertahanan nirmiliter.

Menteri Pertahanan (2014-2019) Ryamizard Ryacudu, pada November 2016 mengingatkan pula bahwa Indonesia harus mengantisipasi terjadinya perang asimetris. Perang taktik non kombatan yang bisa terjadi setiap saat, tanpa deklarasi.

Di era digital sekarang ini, maka palagan perang melebar pada cyberspace. Dunia maya yang pada awalnya digunakan untuk medsos, kini sudah hiruk pikuk dengan segala macam aktivitas, termasuk sebagai wahana cyberwarfare.

Pada tahun 2010, memanfaatkan kapabilitas internet, perang siber modern dimulai dengan kehadiran cacing komputer (worm) Stuxnet yang menyerang sistem industri di Iran.
Tanpa wujud, cyberwarfare ini telah menunjukkan betapa dahsyat modus retas dan daya hancurnya.

Namun realita dunia siber menunjukkan bahwa keilmuan TIK, praktik telematika, penyelenggaraan telekomunikasi dan segala blantika infokom, justru dikuasai oleh para ahli nonmiliter.

Oleh karenanya, selaras dengan statemen Panglima, membangun Angkatan Siber haruslah melibatkan komunitas sipil.

Dalam tataran institusi, kolaborasi antara TNI dan BUMN Telkom misalnya, amatlah diperlukan. Telkom adalah operator terbesar, full network and digital service provider. Mereka punya kompetensi dalam bidang cyber security.

Berseteru di masa perang generasi ke-5 ini, tentara tidak bisa lagi hanya mengandalkan logistik dan alutsista. Diperlukan alat utama sistem telematika (alutsistel) atau “cyberware” dan infiltrasi cybertroops guna membangun efek gentar.

Mata rantai terlemah ketahanan siber, ditengarai adalah pada sisi DNA (device, network dan aplikasi). Selama ponsel yang digunakan tentara kita adalah handphone biasa dan menggunakan jaringan operator tanpa secrecy, maka selama itu pula ketahanan siber kita rentan mengadang serangan.

Tak pelak lagi, pertahanan siber semesta kita haruslah solid dan terkonsolidasi sempurna, seperti sistem pertahanan rakyat semesta Indonesia yang telah teruji.

Perang siber adalah kumpulan dari “pertempuran gaib” yang dikendalikan dari jarak jauh dengan persandian melalui protokol internet pada jaringan telekomunikasi.

Bulan yang lalu, kita ikuti berita perang, di mana ratusan pesawat pager dalam genggaman pejuang Hizbullah di Lebanon, meledak satu persatu, bagaikan tanpa sebab. Cyber attack atau “pemanasan” seperti ini tujuannya adalah mengganggu konsentrasi dan taruhannya adalah nyawa petempur.

Cyberwarfare pada umumnya ditujukan menyasar pusat data.
Penyadapan, peretasan dan ransomware, digunakan untuk melumpuhkan sistem komunikasi, kontrol dan komando (K3) lawan. Maka, ke depannya, pemahaman tentang siber dan kontra siber harus menjadi bahagian dalam sishankamrata kita.

Seperti halnya passus gultor, pasukan siber beroperasi dalam senyap, presisi dan sangat rahasia. Aksi siber berupa penyadapan, phising dan peretasan total, bisa mengakibatkan disorder state (kelumpuhan).
Dalam real warfare, begitu bunyi sirene mengaum, maka blitzkrieg, demolisi maupun devastating bisa saja terjadi. Di ruang terbuka, jaringan kabel internet yang semrawut di tepi jalan dan ribuan menara BTS di seantero kota adalah sasaran yang sangat empuk menyusul serangan siber.

Perang siber bisa terjadi kapan saja. Maka, platform aplikasi pada smart building harus diaudit ulang. Bayangkan, bila sinyal acaknya terkena penyusupan siber, maka dampaknya justru akan mengacak-acak performa sistem itu sendiri.

Digital souverignty kini menjadi isu dan kegalauan masyarakat Uni Eropa. Pasca covid, mereka bereaksi ketika menyadari bahwa platform aplikasi asing ternyata telah sedemikian mendominasi di ponsel publik.

Bagaimana di Indonesia? Secara sadar kita semua ternyata menggunakan “platform luar” yang pusat datanya pun berada di luar sana. Sebutlah email, messengger dan sosmed, semua digunakan oleh masyarakat luas dan organ pemerintah termasuk institusi hankam kita. Jujur, kedaulatan digital dan ketahanan siber kita, rasanya belum dalam keadaan ready for combat.

Pemilihan mitra asing di operator seluler, misalnya; pada dua dasawarsa yang lalu kita hanya mempertimbangkan faktor bisnis, investasi dan transfer of knowhow. Manakala kini kita sadar bahwa data pelanggan adalah new oil dan cyber security adalah harga mati, maka kita harus mengevaluasi kembali struktur ventura ini agar posisi strategis di perusahaan hanya diduduki oleh anak bangsa.

Sejenak, lihatlah ke utara. Singapore Armed Forces sejak 2 tahun yang lalu, telah memiliki unit siber, Digital and Intelligence Service. Inilah contoh kombinasi pertahanan siber dan kesiapan perang asimetris mereka.

Apalagi Australia di selatan kita, sejak dekade lalu, divisi Cyber and Electronic Warfare mereka telah berkonsep tentang perang siber. Latihan dan simulasi perang pun rutin mereka lakukan dengan sekutunya.
India juga memiliki Defence Cyber Agency (DCyA) dan steady sejak November 2019.

Di bawah pimpinan Presiden Jenderal Prabowo, kini saatnya kita menyiapkan cyber playing field yang steril dan mandiri.

Sebagai negara arkipelago yang luas, berpopulasi terbesar ke-4 di dunia, posisi Indonesia jelas sangat menentukan.
Di bidang pertahanan, oleh Global Firepower (GFP) RI ditempatkan di urutan ke-13 sebagai negara yang memiliki angkatan perang terkuat di dunia.

Angkatan siber TNI mudah-mudahan segera terbentuk melengkapi kekuatan ketiga matra hebat yang telah kita miliki. Lebih dari itu, semoga dunia kita damai sejahtera selalu.

Bravo TNI, terus maju dan semakin berjaya!

Garuda Sugardo, IPU (Wantiknas, MKE PII, DPA Mastel)