Jakarta, KomIT – Komisi I mengundang Rudiantara, Menteri Kominfo dan jajarannya dengan agenda: (1) Interkoneksi; (2) Revisi PP52 dan PP 53 dan (3) Regulasi Satelit, menyusul surat dari Operator Seluler yang belum setuju dengan Kebijakan Menteri Kominfo menurunkan tariff interkoneksi 26% melalui Surat Edaran (SE) Nomor 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 (2/8) dan kan diberlakukan 1 September 2016.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Menteri Kominfo Rudiantara dengan Komisi I, DPR (24/8) memaparkan secara komprehensif seluruh program Kominfo kepada Komisi 1, antara lain (1) Interkoneksi; (2) Revisi PP52 dan PP 53;(3) Regulasi Satelit; (4) Rencana Broadband; (5)Palapa Ring serta (6) Infrastructure Sharing , meskipun fokus dari RDPU dengan Komisi I, DPR adalah polemic masalah Interkoneksi . Rudi Rusdiah, Editor Komite.ID hadir pada RDPU Rudiantara MenKominfo dengan Komisi I (24/8) dan berikut liputan paparan Rudiantara khusus penjelasan alasan penurunan tariff Interkoneksi 26% . Catatan: Menyusul paparan selengkapnya untuk agenda Revisi PP 52 & PP 53 pada artikel terpisah.
Interkoneksi sudah ada di Indonesia sejak lama, karena Indonesia menganut regim Multi-Operator dan Kompetisi, sehingga membutuhkan Interkoneksi antar operator yang saling berkompetisi sehat demi industry yang sustainable . Seandainya Indonesia menganut regim Monopoli, maka tidak membutuhkan Interkoneksi. Kominfo ingin operator yang belum sepakat untuk melihat Interkonesi dari sudut bukan sekedar hanya perhitungan Pendapatan dan Biaya dari Interkoneksi, namun juga dari sudut Hak dan Kewajiban bagi para operator seluler, seperti yang tertera di UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Misalnya jika operator A menggelar jaringannya maka berdasarkan peraturan perundangan sah bagi operator lain B atau C untuk bisa berinterkoneksi dengan operator A. Jadi jangan hanya dilihat dari revenue dan cost saja, karena itu adalah hak dan kewajiban, karena ini adalah regim multioperator. Interkoneksi adalah hak dan kewajiban operator membuka aksesnya dan meminta aksesnya.
Sayangnya operator yang belum setuju dengan penurunan tarif Interkoneksi ada yang merasa dirugikan akibat penurunan tariff interkoneksi 26% yang terlalu besar (murah), bahkan beberapa operator di kubu yang berbeda menginginkan penurunan tariff yang lebih besar, sehingga keinginan masing masing operator sangat beragam sesuai dengan argumentasi masing masing operator. Karena paradigm operator-operator tersebut menurut Rudiantara hanya melihat dari sisi biaya dan revenue interkoneksi oleh operator lainnya, bukan Interkoneksi sebagai hak dan kewajiban operator.
Pemerintah cq Kementrian Kominfo tidak menyalahkan para pihak yang tidak sepakat dengan berbagai macam argumentasi nya masing masing karena melihat dari sisi Rugi Laba dan bukan Kepentingan Nasional serta Hak dan Kewajiban Operator. Misalnya ada yang mengatakan ketika tariff Interkoneski lokal diturunkan dari Rp 250 menjadi Rp 204 sebesar 26% akan menurunkan revenue operator, serta merugi, jika diperhitungkan dengan biaya (cost based, karena memang secara accounting harus dicatat dalam perhitungan neraca rugi laba (profit and loss) statement (Paradigm Basis Biaya), padahal semestinya para operator juga memikirkan juga aspek hak dan kewajiban dari interkoneksi dari operator seluler lainnya (Paradigm Hak-Kewajiban).
Keterkaitan Penurunan Interkoneksi dan Kesenjangan Tarif OnNet dan OffNet
Bayangkan jika operator seluler tidak menerapkan hak atau kewajiban interkoneksi, maka semua operator seluler, masing masing hanya fokus pada tariff On Net nya dan dirinya sendiri saja, dimana pelanggan seluler hanya dapat berkomunikasi pada satu operator dan tidak dapat berkomunikasi dengan operator lainnya. Suatu kondisi yang sangat boros dan sangat aneh, Jika ada 10 operator seluler, maka setiap pelanggan seluler harus memiliki 10 SIMMS Card agar dapat berkomunikasi dengan semua pelanggan lainnya. Dengan paradigma hak dan kewajiban pada Interkoneksi seperti yang ada di Indonesi, maka setiap pelanggan tidak perlu memiliki 10 SIMMS card, cukup satu, bahkan dua SIMMS card, karena dengan satu SIMMS Card dapat menghubungi siapa saja yang berlangganan dengan Operator seluler yang lain (OffNet).
Saat ini di Indonesia beredar 350 SIMMS Card padahal penduduk Indonesia hanya 250 juta manusia. Jumlah ponsel yang unik dimiliki oleh 160 juta pelanggan, artinya majoritas dari 160 juta pelang gan memiliki lebih dari satu ponsel. Percakapan dalam satu operator adalah OnNet yang tarifny sangat murah, sedangkan tariff dengan operator berbeda disebut komunikasi OffNet yang sangat mahal 1,000 % dari tariff OnNet. Ini sebabnya penduduk kelas bawah memiliki banyak SIMMs card agar dapat menghemat ketika menghubungi temannya yang berlangganan operator yang berbeda. Kondisi yang sangat boros jika tariff interkoneksi mahal dan pelanggan harus memiliki banyak SIMMS Card, meski harga satu SIMMS card sekitar $ .30 (cent) atau Rp 4.000,- Bayangkan jika 350 juta SIMMS maka biaya yang dibutuhkan untuk SIMMs card adalah Rp 1.4 Triliun. Inilah salah satu alasan Kominfo ingin menurunkan kesenjangan tariff OnNet dan Off Net dengan menurunkan tariff Interkoneksi.
Sejarah Penurunan Tarif sejak tahun 2005 peluncuran 3G
Seandainya kita ikuti pemikiran bisnis atau paradigm berbasis biaya, maka harus diperhitungkan biaya terminasi jadi harus dihitung berapa biaya yang terjadi. Nah perhitungan ini dievaluasi dan direview regular setiap 3 tahun sekali, apabila terjadi perubahan luar biasa seperti Regulasi, Teknologi .
Sejak 2015 kita sudah satu tahun menyiapkan perhitungan ulang interkoneksi dan konsultasi public. Untuk perubahan biaya interkoneksi dilakukan pada 5 Feb 2015 dan daftar hadir diisi oleh hampir semua operator seluler. July sampai Desember 2015 review model perhitungan dihadiri semua operator. Sudah ada 17 pertemuan bersama sama dengan para operator seluler mencoba melakukan perhitungan ulang mengenai Interkoneksi ini. Penandatangannan NDA (Non Disclosure Aggrement) dan pengumpulan data trafik dari operator kepada pemerintah sebagai regulator April – Juni 2015. Verifikasi dan validasi antara Mei 2015–Jan 2016. Berlanjut dengan perhitungan biaya Interkoneksi Kominfo Juni 2015– Maret 2016. Hasil Perhitungan disampaikan ke operator seluler 19 Mei 2016.
Karena diversity dan banyak beragamnya perhitungan, sehingga mebuat kepala Menkominfo pusing demikian kelakar
Rudiantara. Perhitungan berbeda karena setiap operator memiliki teknologi yang berbeda; kebiasaan yang berbeda dan business model/ ekonomi misalnya ada yang minta turun 10%, 40% bahkan 50% dan bahkan ada yang merasa dirugikan.
Kita tidak bisa mengikuti atau berpihak dengan salah satu operator seluler dan pemerintah harus firm, sehingga pemerintah melakukan perhitungan seadil adilnya, fair dalam bentuk Surat Edaeran (SE) KemenKominfo Nomor 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 (2/8)
Dari grafik satu decade, trend perhitungan interkoneksi saat RI memasuki teknologi 3G (2006), sebelumnya 2G 2005 sehingga terjadi penurunan drastic 50% karena penggantian teknologi 2G ke 3G.Dari 2008- 2014 praktis flat, karena tidak ada teknologi baru 3G saat itu dan operator seluler menikmati deprisiasi , tanpa ada perubahan teknologi yang drastis. 2G yang sekarang masih dipakai selama 10 tahun dan sudah terdepriasi , maka selanjutnya operator menikmati zero depresiasi , artinya costnya sudah nol tanpa ada tambahan biaya depresiasi lagi.
3G juga sudah majoritas data trafik dan praktis sudah sejak 2006, sehingga 10 tahun terakhir grafiknya flat. Menurut teori akuntansi kondisi surplus (upside) ini menyebabkan profit yang tinggi dan keuntungan bagi industrynya. Ketika biaya interkoneksinya relative flat, tapi depresiasi costnya sudah nol, sehingga industry menikmati keuntungan yang sangat besar. Jadi ketika Pemerintah pada SE menurunkan setengahnya saja 26%tarif interkoneksi, agar ada margin untuk bisa menikmati dan membangun melakukan investasi. Memang ada juga pertimbangan meminta asimetrik. Selama ini sejak awal selalu simetrik. Pemerintah harus coba mendengar siapa yang mengusulkan asimetrik. Di Eropa dari 23 negara hanya 2 negara yang menerapkan asimetrik. Tetapi kalau diperhatikan asimetrinya bagaimana ? Apakah asimetrik berdasarkan regional masih masuk akal, karena jika operator membangun didaerah yang remote, maka kita apresiasi dan setuju asimetrik. Namun karena lisensi kita nationwide terserah mau menelpun kemana saja simetrik tariff interkoneksinya.
Disrupsi OTT hilangkan Interkoneksi & Kesenjangan OffNet dan OnNet 5 tahun kedepan
Karena terjadi disrupsi teknologi dari circuit switch trafik suara dan sms yang menerapkan tariff interkoneksi dan zona menuju keteknologi ke ip switch berupa data maka di IP Switch interkoneksi sudah tidak relevan lagi. Disrupsi oleh pemain OTT (Over the Top) Global seperti Messenger WA menghilangkan kebutuhan tariff Interkoneksi dan tidak ada lagi perbedaan Tarif OnNet dan OffNet karena ketika kita menelpun dengan siapapun dan dimana pun semua sama antara on net dan offnet. Prediksi Rudiantara dengan aplikasi seperti WA tidak ada perbedaan tariff on Net dan OffNet.
Diperkirakan 5 tahun lagi sudah tidak relevan lagi regulasi Interkoneksi ataupun tariff interkoneksi karena di teknologi Data dan IP switch tidak ada perbedaan on net ataupun offnet. Ini harus disadari oleh para operator yang tidak setuju penurunan tariff Interkoneksi. Di Data dengan IP Network tidak dibutuhkan interkoneksi jaringan. Operator sekarang saja ada yang trafik datanya 30%, 40% dan 50% , apalagi sudah banyak pelanggan yang menggunakan WA, Line VoLTE untuk menghindari tariff Interkoneksi dan 5 tahun lagi tidak ada lagi masalah interkoneksi.
Jika ada operator yang merasa dirugikan, Rudiantara tidak setuju jika perhitungan Interkoneksi hanya fokus pada biaya dan rugi laba karena interkoneksi adalah hak dan kewajiban, karena kita sudah memilih secara legislasi dan UU adalah Multioperator. Kita bukan pada regim monopoli jadi harus ada interkoneksi , ditambah lima tahun kedepan ditenggarai regim Interkoneksi akan hilang ujar Rudiantara. Evita Nursanty, Anggota Komisi I DPR dalam RDPU (24/8) mengharapkan DPR dalam waktu dekat (26/8) memanggil Operator untuk menjelaskan ketidak setujuannya dengan SE Menkominfo ini dan agar para Operator menyiapkan argumentasi nya masing masing. Siapkah industry Seluler Indonesia menghadapi disrupsi hilangnya barier OnNet dan OffNet ? (rrusdiah@yahoo.com)