Polemik Revisi PP No. 52 dan 53/2000 Harus Segera Diakhiri

0
2811

Jakarta, KomIT – Institute for Development on Economics and Finance (Indef) menyelenggarakan seminar ‘Mendorong Efisiensi Berkeadilan Industri Telekomunikasi Nasional’, di Jakarta, Kamis (3/11). Seminar ini diadakan guna memberikan masukan dan pandangan stakeholder kepada Pemerintah dalam rangka penataan regulasi di sektor telekomunikasi yang mampu mendorong perekonomian nasional.

Seminar yang dibuka Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara, ini menghadirkan narasumber Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Achmad M. Ramli, Ketua INDEF Eni Sri Hartati, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, pakar telekomunikasi Nonot Harsono, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, dan anggota Komisioner Komisi Pengawasan Persainan Usaha (KPPU) Prof Tresna Priyatna.

Ditemui usai seminar, pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menekankan, pemerintah sebaiknya segera mengesahkan revisi PP No. 52 dan No. 53 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi agar polemik segera berakhir. Dengan begitu, masyarakat cepat mendapatkan manfaat dan menjadi katalisator untuk perkembangan ekonomi digital Indonesia. “Seperti yang saya sampaikan sektor telekomunikasi menjadi salah satu penentu pembangunan bangsa Indonesia. Terlebih dunia digital juga semakin tren dan menunjukkan pertumbuhan yang kian pesat,” ujarnya. Karenanya, ia menekankan, revisi PP No. 52 dan No. 53 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi agar tidak perlu lagi dipolemikkan. Terlebih soal interkoneksi, dalam beberapa tahun ke depan akan hilang karena semua tren akan beralih ke data. Hal ini semakin memungkinkan karena Palapa Ring sudah tersambung.

Menurut Agus, network sharing menjadi perlu dilakukan agar dapat menghemat Capex dan Opex sekitar 8% – 25%. Jika pembangunan network dilakukan oleh satu operator saja, jelas biayanya membengkak. Di negara lain pun begitu menerapkan network sharing, lantas kenapa Indonesia tidak? “Itu membangun bersama-sama secara gotong royong sehingga jaringan broadband bisa direalisasikan lebih cepat dengan biaya yang lebih efisien. Tidak perlu membawa isu nasionalisme terkait revisi PP No. 52 dan No. 53 tahun 2000. Ini bukan masalah operator merah-putih lawan operator asing, karena semua operator besar di Indonesia pemegang sahamnya asing semua,” ungkapnya. Agus berpendapat, kebijakan interkoneksi yang baru dan revisi PP tersebut harus bisa diselesaikan minggu depan di Kementerian Koordinator Perekonomian lalu segera ke Presiden untuk disahkan untuk kemudian diimplementasikan.

Sementara itu, pakar telekomunikasi, yang juga pengajar di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) Nonot Harsono, menilai terkait revisi PP No. 52 dan No. 53 tahun 2000 banyak menggiring ke opini keliru. Ini yang membuat revisi kedua PP tersebut menjadi terhambat. “Opini keliru yang pertama itu adalah RAN sharing diinfokan numpang BTS, yang benar ini dibangun secara gotong royong. Backbone sharing dibilang penumpang gelap. Padahal tetap bayar sewa, utilitas naik dan revenue pemilik backbone meningkat,” tandasnya.

Prof. Dr. Ir. Tresna Priyatna, anggota Komisioner KPPU menilai konsep active infrastructure sharing adalah positif dalam konteks persaingan karena menghilangkan potensi penyalahgunaan posisi dominan kepemilikan infrastuktur oleh operator besar. “Keterbukaan infrastructure, network, dan interkoneksi memungkinkan pemain baru yang kompeten untuk masuk ke pasar dengan cepat. Selain itu, peningkatan pelayanan yang lebih terjangkau, berkualitas, dan cepat dapat diwujudkan. Semuanya demi mendukung kesejahteraan,” jelas Prof. Tresna.

Dia menambahkan, Competition checklist beberapa Peraturan Presiden (Perpres) antara Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) dan Kemenkominfo akan segera keluar. Tujuannya agar setiap regulasi terawasi dan fair sebagai tindakan preventif sesuai persaingan sehat. Menurutnya, dengan banyaknya pemain operator berebut konsumen seharusnya tarif bisa lebih murah lagi jika semua operator jujur dan transparan. “Transparasi itu menjadi penting,” tandasnya. Ia menilai, dari segi kompetisi bagus hanya konsentrasi pasar sebanyak 90 persen dikuasai oleh 3 operator, sisanya oleh operator-operator kecil. Karena itu, pemerintah harus berani mengambil kebijakan misalnya mereka diberikan anggaran agar mau membuka di luar Jawa.

“Tapi diberikannya secara kompetitif secara adil jika perlu diadakan tender sehingga operasionalnya bagus dan murah. Jada ditender bukan diberikan secara perorang,” tambahnya. Ia melanjutkan, dalam industri telekomunikasi, sudah saatnya diterapkan budaya persaingan sehat. Tanpa budaya ini, kita tidak dapat menembus pasar Asia. Dunia telekomunikasi kita, katanya, betul-betul selektif sehingga masih bisa bersaing sehat. (red)