Internet of Things Butuh Regulasi & Standarisasi

0
3321

Jakarta, KomITe- Era komunikasi data berbasis seluler membawa konsekuensi baru bertumbuhnya inovasi ikutan. Salah satu yang akan menonjol ke depan adalah penerapan IOT (internet of things) yang memungkinkan beragam benda dapat ‘berkomunikasi’ antar mereka termasuk diakses melalui perangkat smartphone. Mulai pengontrolan berbagai peranti seperti penanda ketinggian air sungai, lalu lintas, hingga kendaraan dapat dilakukan melalui IOT. Juga peranti sandangan (wearable devices) yang berbasis IoT seperti baju, jam tangan, alat kesehatan hingga telemetri dapat menggunakan keberadaan IoT.

Tetapi masalahnya, ekosistem IOT harus disikapi dengan cermat. Saat ini ada perangkat IOT yang mengarah menggunakan frekuensi unlicenced 919 – 923 Mhz, berdekatan dengan frekuensi operator. Dampaknya tentu dapat diperkirakan seperti interferensi dengan jaringan yang sudah ada. Belum lagi soal jaminan layanan atau SLA (service level agreement) dan perlindungan data keamanan konsumen. Ini tentu memberi dampak yang tidak diinginkan ke depan. “Kita harus adaptif terhadap perkembangan teknologi termasuk IOT dari sisi regulasi sehingga masyarakat nantinya tidak dirugikan,” kata Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informasi, saat menjadi keynote speaker seminar yang diadakan Indonesia Technology Forum (ITF), di Jakarta, Senin (16/10).

Rudiantara melanjutkan, pada dasarnya pihak pemerintah tidak akan memberlakukan terlalu ketat terhadap hal-hal yang sangat dinamis. Namun, pihaknya berharap semua ekosistem perlu berkumpul dan bicara bersama untuk merumuskan aturan dan regulasi yang kiranya perlu diterapkan dan hal mana pula yang tidak perlu diterapkan. Bagaimanapun, IOT akan berdampak terhadap proses pertumbuhan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Berbagai lembaga riset memaparkan data IOT tumbuh sejak 2014-2020, dan angkanya luar biasa besar, menurut Gartner sekitar 300 milyar dollar, sedangkan menurut data IDC mencapai 1.7 triliun.

Berdasarkan lembaga riset juga, bisnis IOT yang terbesar didapat dari bisnis device dan aplikasi. Kedua, didapat dari konektiviti dan platform dan terkahir dari system integrasi. “Player inilah perlu duduk bersama merumuskan arah atau masterplan IOT di Indonesia. Karena pasar IOT di Indonesia diproyeksikan tertinggi di Asia tenggara sekitar 4000 dollar di tahun 2020,” ungkap Rudiantara.

Group Head Business Product Indosat Ooredoo Budiharto, memberikan pandangannya mengenai IOT yang akan terus tumbuh membesar di masa depan. Sejumlah riset, katanya, menunjukkan IOT akan menjadi salah satu layanan yang akan tumbuh secara eksponensial seiring semakin merebaknya ‘kecerdasan buatan’ serta aplikasi. “Peran perusahaan telekomunikasi sangat penting sebagai enabler Utama dalam ekosistem IOT,” kata Budiharto.

Sementara dari sisi regulasi, menurut Agung Harsoyo, komisioner BRTI sekaligus staf pengajar STEI ITB Bandung, menjelaskan pihaknya terus memantau perkembangan IOT saat ini dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi termasuk dampaknya bagi masyarakat luas. “Kami melakukan antisipasi ke depan sebagai jawaban atas berkembangnya ekosistem IOT di masa depan,” kata Agung. Terlebih, perkembangan IoT sulit dibendung sehingga memang diperlukan perangkat regulasi yang mampu menjawab berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh IoT.

Dengan kondisi tersebut, ITF mendorong adanya regulasi dan penataan ekosistem IOT yang sehat dan mampu membawa manfaat tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi pemangku kepentingan di sektor telekomunikasi dan informatika serta memajukan keunggulan ekonomi Indonesia ITF juga berharap, hadirnya IOT bisa mendorong keunggulan kompetitif nasional melalui transformasi dalam era digital dengan memanfaatkan teknologi IOT. Sehingga keberadaan ekosistem IOT bisa mendorong Indonesia menjadi pemain global dan tidak hanya menjadi pangsa pasar melainkan menjadi pemain utama. (red/PS)