Mesin Crawling AIS Hadiah Tahun Baru Pilkada 2018

0
2702

Jakarta, KomITe- Awal Tahun 2018 Masyarakat Sosmed dan Cyberspace di Tanah Air mendapatkan hadiah mesin crawling atau mesin pengais konten konten yang dapat dianalisa sebagai negatif, seperti pornografi, perjudian, hoax, SARA dan ujaran kebencian.

Tahun 2018 merupakan awal Tahun Politik, karena ada Pilkada di 171 wilayah NKRI, disusul dengan 2019 sebagai Tahun Pemilu, sehingga mesin AIS ini sangat strategis dan tepat waktu untuk mengawal kegiatan politik praktis di Tanah Air. Agar tidak mengulangi kejadian distorsi dan disrupsi, seperti Pemilu Presiden 2017 di Amerika yang ditenggarai sarat intervensi dari negara Asing ataupun Pilkada Gubernur DKI 2017 yang sarat dengan politik Populisme, SARA dan Tribalisme antar golongan, etnis dan partai politik di dalam negeri.

Menyimak pidato paparan akhir tahun KapolRI Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengenai kinerja Polri dalam menghadapi ancaman baru dunia Siber selama 2017, terjaring sebanyak 5,000 lebih kasus yang meningkat 3% dari 2016 sebanyak 4,931 kasus, dimana kasus yang paling menonjol di 2017 adalah ujaran kebencian, berita bohong (hoax) dan penipuan dalam jaringan (daring) atau online.

Polri juga sudah memiliki unit khusus yang menangani hoax dan profokatif yaitu Biro Multimedia Divisi Humas Polri yang tentu dimasa mendatang dapat berkolaborasi dengan tim pengendali AIS dari Kominfo yang baru dibentuk awal 2018. Polri juga memiliki unit Direktorat Keamanan Khusus Badan Intelijen dan Keamanan PolRI yang melakukan patroli siber, dimana mesin crawling AIS Kominfo ini dapat dimanfaatkan mulai awal tahun politik 2018 ini.

Satu hal yang juga penting bagi Polri adalah upaya untuk dapat menangani masalah konten dan penyebaran radikalisme didunia maya yang saat ini berevolusi menghasilkan lone wolf terror (pelaku teror tunggal dan senyap) yang menjadi trend global di AS maupun Eropa, setelah kekalahan dari NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) dan Al Qaida.

Dengan menggunakan mesin crawling mengais jutaan konten didunia siber dalam waktu 5 hingga 10 menit menghasilkan data lake (danau data) puluhan ribu konten-konten prioritas sesuai dengan kata kunci diranking berdasarkan tingkat view, dampak dan potensi viral dan penyebarannya, ujar Semuel Abrijani Pangerapan, Dirjen Aptika, Kementrian Kominfo.

Tantangan Kedepan

Pertama, Pada tahap awal data lake hasil mesin AIS ini di awaki oleh lebih dari 50 orang data analyst di SOC (Security Operation Center) yang dikenal dengan War Room, Kominfo, Medan Merdeka Barat, dalam tiga shif dan dua tim, yaitu tim verifikator dan tim eksekutor. Tim verifikator memverifikasi apakah konten yang terkumpul bertentangan dengan Peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia atau masih dalam kategori batas wajar.

Setelah terverifikasi, maka konten-konten tersebut di pindai (scan) dan di screen capture, sebagai bukti forensik data, yang pada tahap awal masih melalui proses manual, belum memanfaatkan botnet atau AI (artificial intelijen). Secara paralel dimasa depan dapat juga memanfaatkan teknologi Machine Learning (ML) belajar dari tim verifikator, yang nantinya dapat digantikan oleh (augmented by) robot AI. Keywords pun akan berkembang dan analisa korelasi menjadi semakin kompleks, yang menjadi andalan teknologi ML dan AI kedepan.

Kedua, dunia siber memang tidak mudah untuk dapat di ais (crawling) ke seluruh penjuru pelosok dunia siber, mengingat 90% lebih dari dunia siber adalah wilayah Dark Web dan Deep Web yang menggunakan berbagai teknologi enkripsi seperti TOR dan teknologi tunneling (pipa) virtual private network (VPN). Pemain raksasa OTT (Over the Top) Sosial Media antara lain seperti Whatsapps, Facebook juga membangun sistem dan algoritm nya dan tembok enkripsi, inilah tantangan dari Demokrasi Cyberspace kedepan, tidak seperti Internet jaringan TCP/IP ketika diciptakan oleh Vint Cerf dan Bob Kahn pada 1972-1982. Salah satu solusi adalah memanfaatkan kolaborasi yang sudah dilakukan oleh Pemerintah dengan penyelenggara sosmed seperti Facebook, Instagram, Whatsapp, Twitter, BBM, Line, Telegram, Bigo dan Google, menyusul yang lain.

Apabila konten negatif berada di NKRI, maka Kominfo dapat bekerjasama dengan APJII dan ISP yang tergabung untuk melakukan pemblokiran, seperti yang sudah lama diterapkan oleh Kominfo dimasa lalu menghadapi konten pornografi dan hoax. Pada umumnya membutuhkan jedah waktu untuk dapat menblokir atau takedown sebuah situs dari yang paling cepat 15 menit hingga 3 jam.

Untuk konten dari pemilik situs yang terdaftar sebagai anggota Dewan Pers Kominfo dapat menggunakan UU PERS dan berkoordinasi dengan Dewan Pers. Demikian juga Kominfo dapat berkolaborasi dengan institusi antara lain BNN, BPOM, Kepolisan, OJK, Bawaslu, IDX serta asosiasi terkait. Masyarakat juga tetap dapat menggunakan mekanisme pelaporan jika menemukan konten negatif di situs Trust Positif Kominfo.

Mesin AIS ini adalah realisasi proyek Rp 194 miliar dari lelang Kominfo Agustus tahun lalu yang dimenangkan oleh PT INTI (Industri Telekomunikasi). Kedua tantangan ini yang harus dapat dijawab oleh proyek AIS Kominfo sejak melakukan uji coba mesin crawling AIS awal 2018 ini, berpacu dengan teknologi dan masyarakat siber yang juga berkembang cepat, disruptif dan dinamis (rrusdiah@yahoo.com)