Jakarta, KoMITE- Selama beberapa tahun belakangan ini, Education Technology atau Edtech dikenal sebagai salah satu bentuk transformasi pendidikan. Di Asia, Edtech semakin diminati dan diimplementasikan di banyak negara. Dengan jumlah populasi sangat besar, luas wilayah, dan kurang meratanya akses pendidikan berkualitas bagi semua orang, teknologi menjadi salah satu harapan mengatasi isu pendidikan di Asia. Hal ini tentunya semakin didukung dengan jumlah populasi pengguna internet di Asia yang mencapai 1.7 milyar menurut data dari Internet World Stats.
Dengan Cina sebagai pengguna internet terbanyak di Asia, industri Edtech di negara ini tumbuh paling pesat. Sebut saja, Yuanfudao yang merupakan unicorn Edtech pertama di Cina, menyusul Baiju di India lalu Quipper yang menguasai pasar Edtech di Jepang, Filipina, dan Indonesia. Namun, persentase market value di Asia masih terbilang sedikit bila dibandingkan negara-negara di kawasan barat. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu internet high-bandwith yang belum mumpuni, tingkat pendapatan rendah, dan juga penguasaan bahasa Inggris yang masih kurang. Maka, banyak perusahaan Edtech di Asia yang mempertimbangkan hal tersebut dalam bisnisnya.
Contohnya di Indonesia, pada tahun 2015 saat Quipper hadir pertamakali memberikan layanan bebas biaya melalui Quipper School yang memudahkan guru dan siswa dalam mengatur kelas secara daring dengan sistem Learning Management System. Kemudian, menyusul keluarnya layanan Quipper Video yang memudahkan siswa belajar mandiri melalui video streaming yang penggunaan bandwith-nya dapat disesuaikan dengan resolusi video dan kualitas jaringan internet.
Takuya Homma selaku Founding Member Quipper dan Country Manager Quipper Indonesia mengatakan, ”Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan Edtech tercepat. Saat Quipper masuk ke Indonesia 2015 lalu, belum ada pemain yang menyentuh ranah konten pendidikan berbasis video streaming. Sebagai pionir Edtech di Indonesia, kami justru sangat mendukung perkembangan Edtech yang sangat dinamis dengan hadirnya pemain yang semakin banyak. Kami berharap industri Edtech di Indonesia semakin tumbuh sehat, tepat, dan terarah,” ungkap Takuya Homma.
Lain halnya dengan Zenius, perusahaan Edtech yang memiliki perhatian khusus terhadap pemahaman konsep dan penalaran ilmiah di samping pemanfaatan teknologi. Sabda PS selaku Founder Zenius mengatakan,”Dengan dinamisnya perkembangan dunia saat ini, sangat penting bagi peserta didik Indonesia untuk memiliki keahlian kognitif, kemampuan dasar berpikir yang kuat, agar dapat terus beradaptasi,” jelas Sabda.
Selain Quipper dan Zenius, ada juga Solve Education! yang merupakan organisasi nirlaba yang berkontribusi terhadap pertumbuhan industri Edtech di Indonesia. Sebagai organisasi nirlaba, Solve Education! berfokus pada perbaikan motivasi dan cara belajar. Melalui riset yang dilakukan oleh Solve Education! ditemukan fakta bahwa gamification merupakan faktor dominan yang berperan penting dalam perbaikan motivasi belajar anak. Director Education and Development Solve Education! Talitha Amalia mengatakan,”Kami membangun arsitektur mobile educational games untuk membantu para pelajar dan pengajar sekaligus. Arsitektur ini nantinya dapat digunakan oleh berbagai pihak untuk mendesain permainan edukasi mereka menggunakan pendekatan micro learning,”jelas Talitha.
Baik Quipper, Zenius dan Solve Education! ketiganya berfokus pada konten berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan pelajar di Indonesia. Konten dan tenaga pengajar atau guru dianggap menjadi fondasi utama dalam industri Edtech, karena kedua hal tersebut bagaikan dua sisi mata uang yang saling berhubungan satu sama lain. “Meskipun adopsi teknologi pendidikan di Indonesia masih menjadi tantangan tersendiri, namun Quipper bersama-sama dengan Zenius dan Solve Education! terus berupaya mendukung pertumbuhan ekosistem pendidikan di Indonesia yang lebih baik dan bisa dinikmati setiap orang hingga ke seluruh pelosok Indonesia,” tutup Takuya. (red/)